Jakarta (ANTARA) - Pagi belum beranjak di Jalan Mampang Prapatan Raya, Jakarta Selatan. Keadaan jalan raya yang pada hari kerja biasanya dipadati oleh lalu lalang kendaraan, pagi itu justru terlihat sangat lengang. Hanya ada beberapa sepeda motor yang melintasi jalan dan terlihat sekumpulan pemuda bercengkrama di pelataran sebuah minimarket di tepian jalan.
Amir melirik arlojinya yang menunjukkan pukul 06.30 WIB. Lelaki yang dalam kesehariannya bekerja sebagai montir di sebuah bengkel itu berdiri tepat di mulut Gang Mampang Prapatan V yang bermuara di Jalan Mampang Prapatan Raya.
"Saya sedang menunggu dua keluarga yang akan datang dari Cipayung dan Bogor. Biasanya mereka datang sebelum pukul tujuh," kata Amir, membuka perbincangan pagi itu.
Sama seperti tahun-tahun sebelumnya, sepagi itu Amir bertugas menunggui kedatangan saudara-saudaranya yang kini tinggal di luar Kota Jakarta. Pada Kamis itu, 2 Syawal 1440 Hijriah, bertepatan dengan 6 Juni 2019 atau dua hari setelah Hari Raya Idul Fitri, Amir dan sanak keluarga berencana menziarahi makam leluhurnya.
Secara kasat mata, tidak ada orang yang menyangka kalau Amir dan rombongan keluarganya akan berkunjung ke pusara. Maklum, Mampang Prapatan tergolong kawasan padat permukiman penduduk dan merupakan tempat berdirinya perkantoran.
Namun, di tengah deretan kantor dan impitan rumah kontrakkan Gang Mampang Prapatan V, ada sebuah lorong sepanjang 15 meter yang hanya dapat dilalui oleh satu orang.
Lorong itu mengarah ke sepetak tanah terbuka seluas lebih kurang 5 meter x 10 meter yang tampak baru beberapa hari belakangan dibersihkan dari tumbuhan pengganggu.
Tanah terbuka itu menjadi peristirahatan terakhir kakek Amir yang bernama H. Marzuki bin Anwar dan neneknya Hj. Tasniah.
"Permakaman ini sudah ada sejak era Tahun 70-an. Selain 'Babe' Marzuki dan 'Enyak' Ntas, ada lima orang lain yang dimakamkan di sini. Salah satunya encing (paman) kami," ujar Amir yang saat itu duduk di sisi makam kakeknya.
Sejurus kemudian, Amir dan rombongan bersegera mengawali kegiatan penziarahan dengan membaca Kitab suci Al Quran, yakni Surat Al Fatihah, dilanjut dengan Surat Yaasiin, dan sederet kalimat pujian atau selawat untuk Nabi Muhammad SAW.
Tidak lupa para peziarah juga merapalkan rangkaian doa kepada Allah SWT agar para leluluhur mereka itu diberi kelapangan di alam kubur dan mendapat hidayah untuk selalu berjalan di jalan agama bagi yang masih hidup. Semua orang kemudian larut dalam kondisi tafakur di lokasi permakaman pagi itu.
Kondisi tanah wakaf yang menjadi lokasi permakaman itu memang tidak berubah sejak dulu. Tembok yang menjadi pembatas permakaman itu adalah dinding-dinding bangunan rumah dan perkantoran yang mengimpit di ke empat sisi makam.
Iis, salah seorang cucu lainnya dari Almarhum H Marzuki, menjelaskan bahwa tidak ada niatan dari keluarga besarnya untuk memindahkan makam kakek neneknya, meski lokasinya kurang nyaman untuk diziarahi.
"Di sini memang agak susah untuk parkir kendaraan, apalagi bila beberapa keluarga para peziarah datang secara bersamaan menggunakan mobil. Untungnya masyarakat di sini bersedia meminjamkan halaman rumah karena mereka cukup mengenal keluarga besar Almarhum H Marzuk," ujar Iis, memberi gambaran.
Bagi Amir dan Iis, mengunjungi makam leluhur adalah melaksanakan anjuran agama dan memiliki nilai utama sebagai wadah mempererat ikatan persaudaraan. Amir, yang telah memiliki satu cucu, dan Iis yang beranak dua, tidak ingin generasi penerus mereka kelak tidak saling mengenal.
"Ziarah ini, bagaimana pun caranya, harus tetap ada. Selain sebagai pengingat terhadap begitu dekatnya kematian, momen ini juga menjaga tali persaudaraan. Anak dan cucu saya harus tetap mengenal saudara-saudara mereka," ujar Amir saat membuka pertemuan dengan keluarga besarnya itu.
"Saya senang karena ketemu saudara-saudara yang selama ini jarang dilihat. Mungkin kalau nggak ada ziarah kubur semacam ini, bisa-bisa nggak kenal dengan saudara saat berpapasan di jalan," kata Ayubi yang merupakan generasi keempat dari trah Marzuki, seraya tersenyum.
Lahir dan tumbuh sebagai anak asli Betawi, Amir, Iis, dan Ayubi tentu tidak mengakrabi istilah mudik dalam kamus dan tradisi Lebaran mereka. Maka, ziarah pusara adalah bentuk pulang kampung atau mudik yang paling sederhana bagi Amir, Iis, Ayubi, dan keluarga besar H Marzuki. Mudik adalah tradisi pulang kampung bagi masyarakat Indonesia yang biasa dilakukan oleh para perantau saat datang Hari Raya Idul Fitri.
"Hari ini kita mengingat, nanti kita juga akan diingat. Hari ini kita mendoakan, nanti kita juga akan didoakan. Insya Allah," tutur Iis, menimpali.
Sinar mentari mulai bergerak naik, menyelinap perlahan dari balik dedaunan pohon rambutan yang berdiri kokoh di sudut permakaman. Entah sejak kapan pohon itu tumbuh, Amir dan Iis tidak dapat mengingatnya dengan pasti. Mereka hanya berharap, pohon itu akan tetap berada di tempat tersebut saat generasi cucu Ayubi datang untuk kembali bertafakur, mendoakan arwah leluhur, di momen Umat Muslim merayakan hari yang fitri ini.
Editor: Masuki M. Astro
Copyright © ANTARA 2019