Oleh Heru Suyitno dan Bambang Dwi Marwoto
Solo (ANTARA News) - Astana Giribangun dikenal masyarakat sebagai tempat tujuan wisata ziarah setelah mendiang Ibu Siti Hartinah (Tien) Soeharto dikebumikan di sana pada 1996.
Waktu itu hampir setiap hari ribuan pengunjung dari berbagai daerah di tanah air datang berziarah ke kompleks pemakaman itu.
Arus kunjungan seperti itu terus bertahan hingga 1998, ketika perkembangan politik di tanah air kondisi berubah total.
Bersamaan dengan berhentinya HM Soeharto (Pak Harto) dari kursi kepresidenan akibat gerakan reformasi 1998, arus ziarah ke Astana Giribangun pun surut.
Kepala Kantor Pengelola Astana Giribangun, Sukirno, mengatakan bahwa sebelum reformasi 1998 pengunjung Giribangun cukup banyak. Namun, pengunjung pun jumlahnya turun drastis setelah bergulirnya reformasi.
Ia menyebutkan, sejak Ibu Tien Soeharto dimakamkan di Giribangun pada 1996, pengunjung atau peziarah ke tempat itu sangat ramai atau bisa mencapai sekira 7.000 hingga 8.000 orang per hari, bahkan pernah mencapai 13.000 orang pengunjung per hari.
Pengunjung tidak hanya datang dari daerah Solo, Jawa Tengah, dan sekitarnya, tetapi juga dari seluruh pelosok tanah air. Waktu itu para pejabat juga sering berziarah ke sana.
"Pada puncaknya pernah mencapai 13.000 pengunjung dalam sehari, namun sejak reformasi minat masyarakat berziarah ke sini turun drastis," katanya.
Setelah reformasi, menurut dia, pada hari-hari biasa jumlah pengunjung sekitar 100 orang dan hari libur bisa mencapai sekitar 500 hingga 700 orang per hari.
Namun, dalam dua pekan terakhir sejak Pak Harto yang Presiden RI Periode 1966-1998 masuk Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta pada 4 Januari 2008 seakan masyarakat kembali diingatkan lagi mengenai keberadaan Astana Giribangun.
Apalagi, sejumlah media baik cetak maupun elektronik terus menghadirkan berita-berita tentang Keluarga Cendana termasuk Dalem Kalitan, rumah keluarga Soeharto di Solo, dan Astana Giribangun di Karanganyar.
Hampir setiap hari layar kaca menyuguhkan perkembangan situasi di Astana Giribangun. Hal itu membuat masyarakat bertambah penasaran untuk berdatangan ke Giribangun.
Rasa penasaran itu dialami seorang pengunjung dari Pleret, Yogyakarta, Rukiban. Pensiunan pegawai Pemda DIY ini bersama istrinya rela berboncengan sepeda motor sekitar tiga jam untuk menginjakkan kaki di Astana Giribangun.
Ia yang sebelumnya pernah sekali berkunjung ke Giribangun mengatakan, tujuan datang ke Astana Giribangun sekadar melihat situasi di sini setelah melihat tayangan televisi.
Sejak Senin (14/1) pengelola Makam Astana Giribangun menutup akses masuk untuk masyarakat umum. Sejumlah polisi dan tentara terlihat berjaga di depan pintu gerbang utama.
Penutupan tersebut membuat para pengunjung yang hendak berziarah ke makam Ibu Tien Soeharto kecewa, karena harus pulang tanpa hasil. Padahal, di antara pengunjung itu banyak yang datang dari luar kota.
Salah satu pengunjung, Bibit (35), warga Sragen datang ke Giribangun bersama enam orang anggota keluarganya. Tapi, keinginan mereka untuk berziarah tidak dapat terlaksana. Langkah mereka terpaksa terhenti hanya sampai di pelataran pintu gerbang.
"Saya belum mendengar kalau tempat ini sedang ditutup untuk umum. Tahunya cuma sedang ramai terkait sakitnya Pak Harto," katanya.
Bibit yang mengaku telah beberapa kali berziarah ke makam Ibu Tien Soeharto ini bukan satu-satunya pengunjung yang harus pulang tanpa hasil. Banyak pengunjung yang harus mengurungkan niatnya untuk berziarah, kecuali para pejabat.
Warga biasa harus puas berhenti di depan pintu gerbang dan hanya bisa melihat-lihat suasana Astana Giribangun dari luar pagar.
Astana Giribangun terletak di Desa Girilayu, Kecamatan Matesih, Kabupaten Karanganyar, Provinsi Jawa Tengah mulai dibangun tahun 1974 dan selesai pada 1976.
Bangunan Astana Giribangun terdiri atas tiga bagian yakni Argotuwuh, Argokembang, dan Argosari. Di pelataran Argotuwuh terdapat 17 tangga, kemudian di Argokembang ada delapan tangga, dan pada argosari terdapat bangunan setinggi 17 meter.
Astana Giribangun didirikan di Bukit Ngipik dengan ketinggian 683 di atas permukaan air laut (DPL). Namun, dalam proses pendiriannya bukit tersebut dipangkas hingga 17 meter.
Ada beberapa versi yang menyebutkan asal mula pemberian nama Giribangun, pertama karena terletak antara Desa Girilayu dan Karangbangun, kedua karena dibangun di atas bukit atau gunung (giri).
"Memang ada banyak versi tentang nama Giribangun, yang jelas makam ini dibangun di atas bukit," kata Sukirno.
Lokasi Astana Giribangun yang berjarak sekitar 35 kilometer arah timur Kota Solo itu mudah dijangkau dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi, apalagi sekarang terdapat tanda petunjuk arah menuju ke lokasi tersebut pada setiap titik persimpangan.
Petunjuk itu dipasang mulai dari Bandara Adisumarmo Solo, sehingga memudahkan bagi pengunjung menuju pemakaman itu. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008