Jakarta (ANTARA News) - Federasi Serikat Pekerja (FSP) BUMN Bersatu meminta meminta kepada Kementrian BUMN agar melakukan upaya konkret untuk membeli kembali (buy back) saham Hutchinson di JICT atau setidak-tidaknya membatalkan klausul larangan pembangunan terminal peti kemas di dekat Jakarta Internasional Container Terminal (JICT) Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta yang terdapat dalam perjanjian divestasi. Ketua Presidium FSP BUMN Bersatu FX Arief Poyuono,SE dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Jumat, mengimbau agar pekerja di Pelabuhan Tanjung Priok Jakarta tidak terpengaruh isu-isu perburuhan menyesatkan yang dibangun pihak-pihak yang mengingninkan terjadinya kekisruhan di pelabuhan tersebut. "FPS BUMN Bersatu meminta kepada Meneg BUMN untuk tidak terpengaruh isu isu yang diduga digulirkan oleh ITF terhadap pendiskreditan Direksi Pelindo 2 dan pengurus SP Pelindo 2," katanya. Selain itu, kata Arief, FSP BUMN Bersatu menolak segala cara yang dilakukan Hucthinson dengan menciptakan kongesti dan menghambat kemajuan prasarana dan sarana yang mendukung percepatan ekonomi Indonesia. FSP BUMN Bersatu akan menjembatani proses pembuatan Perjanjian Kerja Bersama (PKB) PT Pelindo 2. Menurut dia, percepatan ekonomi sebuah negara haruslah didukung dengan prasarana kepelabuahan yang memadai agar arus keluar masuk barang dari dalam dan luar negeri dapat berjalan cepat dan efisien. Oleh karenanya pengelolaan prasarana pelabuhan harus dilakukan secara profesional."Terjadinya kongesti di JICT Pelabuhan Tanjung priok merupakan bukti bahwa pengelolahan prasarana untuk keperluan ekspor dan impor yang seharusnya menjadi pendukung untuk percepatan pertumbuhan ekonomi Indonesia justru menjadi "batu sandungan"," ujarnya.Arief menilai, yang agak aneh, menurunnya profesionalisme pengelolaan prasarana kepelabuhan JICT justru mengemuka setelah mayoritas saham JICT (51%) dikuasai oleh Hutchinson. Padahal banyak pihak berharap adanya peningkatan profesionalitas pengelolaan prasarana JICT setelah masuknya Hutchinson. "Persoalan Kongesti secara tidak langsung timbul karena kehadiran Hutchinson di JICT. Karena dalam perjanjian divestasi JICT kepada Hutchinson tersebut tertera ketentuan Pelindo 2 tidak dibolehkan membangun terminal peti kemas atau memperluas terminal peti kemas yang berdekatan dengan lokasi JICT. Hal ini diduga sebagai penyebab utama kongesti di pelabuhan Tanjung Priok," katanya. Menurut Arief, volume lalu lintas peti kemas yang lewat pelabuhan Tanjung riok yang terus bertambah setiap tahunnya. Secara alami, terminal yang sudah ada tentu akan kesulitan melayani kenaikan volume lalu lintas peti kemas tersebut, sehingga pembangunan terminal petikemas baru justru sangat dibutuhkan. "Kawasan industri di Jabotabek dan ditambah di Jawa Barat bagian barat sudah mencapai 42 ribu hektar dan kapasitas terpasang baru 50 persen. Selama ini, mereka hanya mengandalkan Tanjung Priok sebagai satu-satunya pintu. Sementara Priok sendiri okupansinya sudah mencapai 70 persen dan kondisinya sudah seperti itu. Jadi, harus segera ada terobosan," katanya. Arief menambahkan, jika dibandingkan dengan pelabuhan di negara-negara Asia lain seperti Singapura dan Yokohama, maka pelayanan kepelabuhan di Tanjung Priok semakin jauh tertinggal. Dalam persoalan waktu tunggu misalnya, pelabuhan Tanjung Priok membutuhkan waktu dua hari. Sementara waktu tunggu di pelabuhan Singapura dan Yokohama nyaris tidak ada.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008