Tanjungpinang (ANTARA) - Fraksi Keadilan Sejahtera dan Persatuan Pembangunan DPRD Provinsi Kepulauan Riau berpendapat bahwa tambang bauksit di Pulau Bintan dibenci masyarakat karena pelaksanaannya tidak tertib dan cenderung melanggar peraturan.
Ketua Fraksi Keadilan Sejahtera DPRD Kepri Ing Iskandarsyah, di Tanjungpinang, Jumat, mengatakan, masyarakat dan negara akan diuntungkan seandainya pertambangan bauksit dilaksanakan sesuai ketentuan yang berlaku.
"Ada yang salah dalam pengelolaan pertambangan bauksit di Pulau Bintan sehingga ditolak masyarakat. Ini terjadi karena pemberi ijin dan pengusaha tidak disiplin, tidak menaati ketentuan yang berlaku," katanya, yang juga anggota Komisi II DPRD Kepri.
Iskandar mengemukakan permasalahan serius yang harus diselesaikan dalam menangani pertambangan bauksit di internal pemerintahan, terutama terhadap pihak-pihak yang menerbitkan ijin. Kepala daerah maupun bawahannya yang diberi amanah menangani perijinan pertambangan bauksit seharusnya bersikap tegas, memiliki integritas dan bekerja secara profesional.
Jika sikap itu diterapkan, menurut dia pengusaha tidak mungkin berani melakukan kegiatan yang melanggar peraturan. Karena pada prinsipnya pengusaha ingin melakukan pertambangan secara nyaman dan aman setelah menginvestasikan modalnya yang tidak sedikit.
Dari data yang diperoleh, dan perkembangan informasi terkait kasus pertambangan justru yang ditemukan dugaan pelanggaran pemberian ijin untuk ijin usaha pertambangan sehingga pengusaha terjerat hukum, serta masyarakat dan daerah dirugikan. Pemerintah daerah, khususnya Pemprov Kepri semestinya tidak "cuci tangan" dalam menyikapi kasus pertambangan bauksit yang sekarang ditangani oleh penyidik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Kasus itu diketahui oleh publik sehingga pemerintah daerah seharusnya merasa malu jika selama ini terkesan tutup mata, dan tidak berupaya mengatasinya. Padahal sebanyak 19 ijin diberikan Pemprov Kepri kepada sejumlah perusahaan yang bukan bergerak di bidang pertambangan diduga tidak prosedural.
"Tindakan KLHK itu berkaitan dengan kerusakan lingkungan dan hutan, bagaimana dengan kerugian negara akibat kesalahan dalam pemberian perijinan, dan aktivitas pertambangan bauksit yang tidak memberi kontribusi pada pendapatan daerah. Seharusnya pun Pemprov Kepri merasa malu karena penindakan dilakukan oleh pusat, padahal ada Dinas Lingkungan Hidup Kepri," ucapnya.
Permasalahan ketidakdisiplinan dalam aktivitas pertambangan bauksit yang terjadi sebelum tahun 2014, dan kemudian terjadi lagi pada tahun 2018 hingga awal 2019 juga menyebabkan kerugian negara yang besar. Kerusakan lingkungan yang terjadi sebelum tahun 2014 sampai sekarang masih dapat dilihat sekarang di Tanjungpinang dan Kabupaten Bintan.
Kondisi itu, diperparah dengan kerusakan lingkungan dan hutan akibat pertambangan bauksit di sejumlah daratan dan pulau pada tahun 2018 hingga awal 2019.
Padahal dana jaminan perbaikan lingkungan sudah diberikan oleh perusahaan yang melakukan aktivitas pertambangan secara legal sebelum tahun 2014. Dana tersebut seharusnya digunakan, namun sampai sekarang masih bermasalah, terutama di Bintan dan Tanjungpinang.
"Ini permasalahan serius yang terkesan dibiarkan berlarut-larut. Ada apa?" katanya.
Sedangkan lingkungan yang rusak akibat aktivitas pertambangan bauksit tahun 2018 hingga awal 2019, seperti di kawasan Tembeling, Gisi, Bintan Buyu, Pulau Dendang, Koyang, Buton, Tanjung Elong, Telang masih dapat terlihat dengan jelas sampai sekarang. Perbaikan lingkungan akan sulit dilakukan jika perijinan yang diterbitkan tidak prosedural.
"Kalau aturan dilaksanakan, dana perbaikan lingkungan pascatambang dilaksanakan, dapat dipastikan lingkungan tidak rusak. Ada teknologi yang dapat memperbaiki lingkungan yang rusak," ujarnya.*
Baca juga: Sembilan anggota DPRD Kepri dukung hak angket tambang
Baca juga: Persiapkan SDM hilirisasi bauksit, Rini perintahkan bangun SMK
Pewarta: Nikolas Panama
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019