Yogyakarta (ANTARA News) - Kelangkaan minyak tanah di tingkat pengecer diduga disebabkan oleh ulah "nakal" para agen yang sengaja menjual sebagian besar stok mereka kepada industri."Ada dugaan agen minyak tanah sengaja menjual ke pelaku industri sehingga kebutuhan di tingkat penyalur atau pengecer tidak tercukupi," kata Ketua Lembaga Konsumen Yogyakarta (LKY), Nanang Ismuhartoyo, Jumat. Menurut dia, dugaan ini cukup kuat karena agen dapat menjual minyak tanah ke pelaku industri dengan harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan jika dijual ke pengecer. Harga minyak tanah yang jauh berbeda antara untuk rumah tangga dan industri memungkinkan terjadi penyimpangan. Harga minyak tanah untuk industri yang mkencapai Rp6.000 per liter, menyebabkan pelaku usaha memilih membeli minyak tanah dari para agen yang hanya berkisar Rp2.500 - Rp3.000 per liter. Selain itu ada kemungkinan agen sengaja menimbun minyak tanah dan menunggu momen saat pemerintah benar-benar mengurangi jatah minyak tanah untuk rumah tangga setelah program konversi minyak tanah ke kompor gas dilaksanakan. "Saat ini mereka mulai menimbun minyak tanah dan nanti setelah pemerintah benar-benar membatasi penjualan minyak tanah untuk rumah tangga baru mereka mengeluarkannya dengan harga industri yang lebih tinggi," katanya. Ia mengatakan pihak Pertamina dan Himpunan Wiraswasta Nasional Minyak dan Gas (Hiswana Migas) harus jujur kepada masyarakat terutama masalah persediaan dan distribusi minyak tanah untuk rumah tangga. Menurut Nanang, selama ini persoalan distribusi selalu menjadi kendala, mulai dari kebocoran, terhenti di tengah jalan, hingga pasokan terlambat sehingga sering menimbulkan kelangkaan. Ia menambahkan selama ini masyarakat juga tidak tahu jika program konversi minyak tanah ke kompor gas akan diikuti dengan pengurangan atau pembatasan penjualan minyak tanah untuk rumah tangga. "Seharusnya program konversi kompor gas tidak menjadi kewajiban bagi masyarakat sehingga tidak perlu diikuti dengan pembatasan atau pengurangan jatah minyak tanah untuk rumah tangga," kata Nanang Ismuhartoyo.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008