Jakarta (ANTARA News) - Pernyataan Amien Rais yang memaafkan mantan Presiden Soeharto menjadi tanda tanya sejumlah pihak terutama mereka yang mengenal Amien sebagai bapak reformasi. "Amien Rais seperti lokomotif yang lupa siapa yang ada di gerbong kereta reformasi. Itu, permasalahannya," kata Koordinator Kontras Usman Hamid dalam acara diskusi Sikap Kaum Muda terhadap Kasus Soeharto di Gedung PP Muhammadiyah Jakarta, Kamis. Usman mengatakan, di gerbong reformasi begitu banyak orang yang berharap dengan "jatuhnya" Pak Harto hidupnya akan lebih baik, kesejahteraanya lebih meningkat, hak-haknya yang pernah dirampas pada masa lama dipulihkan kembali. "Ada begitu banyak orang yang berada di gerbong reformasi, yang punya harapan semacam itu. Dan orang menilai lokomotifnya pak Amien. Oleh karena itu, saya kira Pak Amien untuk mengambil sikap bicarakan dulu dengan orang-orang yang ada di gerbong, mau kemana kita ini," ujarnya. Usman menilai, pernyataan maaf kepada penguasa Orde Baru dari Amien Rais adalah bentuk inkonsistensi terhadap reformasi. "Inkonsistensi pertama Pak Amien dalam kasus reformasi, saya kira dalam bentuk membangun poros tengah untuk menjatuhkan Abdurrahman Wahid," katanya. Langkah itu, bukan saja keliru tapi juga gagal dalam memperhitungkan konsekuensi-konsekuensi yang timbul akibat koalisi dengan poros tengah tersebut. Akibat yang muncul, agenda reformasi macet di tengah jalan, dan belum tegaknya supremasi hukum. Menurut Usman, satu-satunya elit politik yang mencoba untuk bertahan adalah Hidayat Nurwahid. Namun, posisinya bagaikan petinju yang sudah ada di pojok. "Sebenarnya kita perlu untuk mendukung Pak Hidayat Nurwahid yang tetap mempertahankan ketetapan MPR sebagai dasar dalam bersikap dalam kasus dugaan mantan presiden Soeharto," katanya. Usman menilai, "Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) tempat Soeharto dirawat, juga sudah berubah semacam forum selebriti dan forum moral untuk menunjukkan moralitas bahwa kita peduli kepada kemanusiaan." "Saya setuju, lepas dari yang kita persoalkan bahwa Soeharto adalah ayah dari seseorang, yang sama dengan kita mencintai ayahnya dan kakek seseorang yang ingin memberikan perhatian. Tapi, perkara kita adalah bukan itu," katanya. "Perkara kita adalah bukan perkara pribadi, tapi perkara kita adalah perkara publik, umat manusia, dan keadilan," katanya. "Kewajiban kita adalah untuk menegakkan keadilan. Demi kewajiban itu, kita harus menjadi saksi yang adil pada orang tua kita sendiri. Jadi keadilan harus dimuliakan dan kita tidak ada urusan pribadi-pribadi," katanya. Menurut dia, yang dipersoalkan adalah, kekerasan, pelanggaran hak asasi manusia, atau korupsi yang masif yang terjadi akibat sistem kekuasaan yang menyimpang, otoriter, bukan karena kesalahan pribadi mantan Presiden Soeharto. "Karena itu, tidak bisa diputihkan dengan memaafkan pribadinya," demikian Usman. Sementara Ketua Umum Pelajar Islam Indonesia, Muhammad Zaid mengatakan bahwa kekuatan Soeharto masih cukup besar dan pemerintah tidak memiliki ketegasan dalam mengambil sikap. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008