Brisbane (ANTARA News) - Seandainya Soeharto mau turun dari kursi kepresidenan pada 1990, dia pasti akan terus dikenang rakyat Indonesia sebagai "pahlawan pembangunan". Pendapat itu disampaikan ekonom di Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) Universitas Nasional Australia (ANU), Dr. Hal Hill, dengan argumentasi bahwa prestasi Soeharto dalam pembangunan ekonomi Indonesia sangat impresif sebelum memasuki awal 1990-an. "Saya pikir kalau misalnya Pak Harto turun sekitar 1990, saya rasa dia akan dianggap semacam `hero` (pahlawan) pembangunan, tetapi setelah awal 1990-an prestasinya kurang begitu impresif," katanya, dalam wawancara per telepon dengan ANTARA hari Selasa (15/1). Kurang impresifnya prestasi ekonomi presiden kedua Indonesia itu memasuki periode 1990-an bisa dilihat dari dua aspek, yakni "keserakahan" putra-putrinya terbukti dari semakin banyaknya perusahaan mereka, serta kegagalannya menangani krisis moneter 1997-1998. Kegagalan Soeharto menangani krisis moneter 1997-1998 itu "agak aneh", kalau dibandingkan dengan bagaimana dia menghadapi tantangan krisis ekonomi 1985 yang juga berat bagi Indonesia saat itu, katanya. Pada krisis moneter 1985 itu, Indonesia yang menjadi salah satu negara pengekspor minyak mampu keluar dari krisis itu dan bisa bertahan, kata Hal Hill. Kemampuan pemerintahan Soeharto untuk keluar dari krisis tersebut bisa jadi disebabkan oleh adanya "kombinasi Soeharto dan kaum teknokrat" yang menghasilkan reformasi ekonomi yang relatif cepat bagi Indonesia, katanya. "Lantas mengapa hal ini tidak terlihat saat menghadapi krismon pada 1990-an? Saya melihat dua faktor, yakni kroni dan konglomerasi anak-anak Soeharto serta terjadinya perpisahan antara Soeharto dan teknokrat (Widjojo Nitisastro-red.)," katanya.Divided legacy Dalam pandangan peneliti senior yang juga pengasuh Buletin Studi Ekonomi Indonesia (BIES) itu, sepanjang 32 tahun masa pemerintahannya, Soeharto dapat dikatakan menghasilkan apa yang disebut "divided legacy", yakni pembangunan ekonomi yang luar biasa, namun dengan kehidupan politik yang kurang bagus. Terlepas dari kehidupan politik Indonesia yang kurang bagus itu, Soeharto tetap dianggap sebagai seorang "raksasa Dunia Ketiga mengingat durabilitas kekuasaannya yang 32 tahun itu serta prestasi pembangunan ekonominya yang luar biasa," katanya. Prestasi pembangunan ekonomi mantan presiden RI yang kini berusia 86 tahun itu menjadi catatan khusus, karena di era pemerintahan sebelumnya, ekonomi Indonesia bahkan pernah divonis ekonom, Bejamin Higgins, sebagai kronis dan tak berprospek. Setelah Soeharto naik ke tampuk kekuasaan, dia berhasil mengangkat perekonomian negaranya dari kemunduran yang panjang dan dalam 30 tahun kekuasaan Orde Baru, dan hasil pembangunan ekonominya "boleh dikatakan" dapat dinikmati hampir semua rakyat. Hasil pembangunan Orde Baru itu antara lain dapat dilihat dari menurunnya angka kemiskinan, merosotnya angka kematian bayi, dan meningkatnya tingkat pendidikan rakyat. "Artinya, Soeharto merupakan `great success story of growth and development` (cerita sukses besar pertumbuhan dan pembangunan) ...," katanya. Hanya saja, gambaran yang "sangat positif" di bidang pembangunan ekonomi itu tidak terlalu diikuti oleh kondisi kehidupan hak asasi manusia dan demokrasi, katanya. Namun, kalaupun akhirnya Tuhan memanggil dirinya, maka tidak akan ada implikasi serius bagi Indonesia karena sejak reformasi 1998, Indonesia sudah mengalami banyak perubahan walaupun patut disayangkan mengapa Soeharto tidak dari dulu mau mendukung perubahan politik secara bertahap, katanya. Soeharto bertanggung jawab pada tidak terjadinya liberalisasi sistem politik yang memungkinkan terjadinya transisi dari otoritarianime ke demokrasi secara sehat, katanya. Soeharto menjadi pusat perhatian rakyat Indonesia dan dunia setelah ia kembali menghuni ruang "president suite" Nomor 536 di lantai lima Gedung RSPP pada 4 Januari 2008 sekitar pukul 14.15 WIB akibat penyakit yang dideritanya. Tim dokter yang merawatnya antara lain menemukan adanya penurunan kadar hemoglobin darah dan tekanan darah turun serta terjadinya penimbunan cairan (oedema). Sejak lengser dari kursi jabatan presiden pada 21 Mei 1998, pemimpin yang lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 itu telah beberapa kali dirawat di rumah sakit karena beragam penyakit, seperti pendarahan usus, jantung, dan paru-paru. Dia pernah dirawat di RSPP pada 20 Juli 1999 karena stroke ringan. Setelah itu, ia kembali masuk rumah sakit yang sama pada tahun 2000, 2001, 2002, 2004, 2005, 2006 dan 2008. (*)

Copyright © ANTARA 2008