Jakarta (ANTARA News) - Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dalam uji materiil UU No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, juga sesikap dengan pemohon yang menyatakan kewenangan penyidikan yang dimiliki Kejaksaan dapat menimbulkan kerugian konstitusional.
Pada sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Kamis, Polri yang didengar keterangannya sebagai pihak terkait diwakili oleh Kabid Penerapan Hukum dan UU Mabes Polri, Kombes Pol RM Panggabean.
Panggabean menyatakan, kewenangan penyidikan yang dilakukan oleh dua institusi berbeda dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang menyebabkan kerugian konstitusional bagi pencari keadilan.
Pemberian kewenangan penyidikan kepada Kejaksaan, lanjut dia, selama ini telah menimbulkan pretensi bahwa kepolisian tidak sanggup menyidik suatu perkara, terutama perkara korusi.
Menurut Panggabean, pemberian kewenangan penyidikan kepada kejaksaan sebenarnya hanya berupa transisi yang diatur dalam pasal 284 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
"Pasal 284 KUHAP mengatur bahwa masa transisi itu hanya dua tahun. Tetapi politik hukum kita saat ini belum merealisasikan itu, sehingga tetap terjadi disparitas lembaga penegak hukum," tuturnya.
Panggabean juga mengatakan, kepolisian merasa dilangkahi oleh kejaksaan dalam hal pengambilalihan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) suatu perkara.
Kejaksaan, lanjut dia, seharusnya bukan mengambilalih suatu perkara yang diSP3 oleh kepolisian, melainkan menyerahkannya kembali kepada kepolisian apabila ditemukan bukti baru.
Di hadapan majelis hakim konstitusi, kepolisian menegaskan sikapnya yang serupa dengan pemohon uji materiil bahwa kewenangan penyidikan yang dimiliki oleh kejaksaan dapat menimbulkan kerugian konstitusional.
Uji materiil pasal 30 UU Kejaksaan diajukan oleh tersangka kasus
korupsi PT Asabri, Mayjend TNI (purn) Subarda Midjaja.
Pasal 30 UU Kejaksaan mengatur kewenangan kejaksaan untuk melakukan penyidikan terhadap kasus tindak pidana tertentu.
Menurut pemohon, kewenangan ganda yang dimiliki oleh kejaksaan, yaitu penyidikan dan penuntutan, menimbulkan ketidakpastian hukum yang dapat merugikan hak konstitusionalnya.
Pada 2004 pemohon telah diperiksa dan ditetapkan tersangka oleh Mabes Polri dalam kasus penggelapan dan penipuan PT Asabri. Namun, Polri kemudian menerbitkan SP3 atas perkaranya.
Pada Agustus 2007, Kejaksaan memanggil dan menyidik ulang serta
menetapkan pemohon sebagai tersangka dalam kasus tindak pidana korupsi dana PT Asabri.
Kejaksaan Agung selaku penyidik kemudian menahan pemohon pada November 2007. Tindakan kejaksaan itu menurut pemohon menimbulkan kerancuan dan ketidakpastian hukum.
Sementara itu, DPR yang diwakili oleh anggota Komisi III Akil Mochtar menyatakan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan uji materiil UU Kejaksaan.
Menurut Akil, persoalan yang diajukan oleh pemohon adalah kompetensi wilayah peradilan umum yang seharusnya bisa diselesaikan melalui jalur praperadilan.
Kewenangan penyidikan yang dimiliki kejaksaan, menurut DPR, tidak menyalahi peraturan perundang-undangan yang berlaku karena dalam hukum acara pidana diatur bahwa kejaksaan dapat menyidik suatu tindak pidana tertentu selama diatur dalam suatu aturan perundang-undangan.
Hakim konstitusi Achmad Roestandi mempertanyakan sikap yang diambil oleh pembentuk UU yang dianggapnya merupakan langkah mundur.
Roestandi mengatakan dengan adanya hukum acara pidana, Indonesia telah memiliki sistem peradilan pidana yang teratur dengan kewenangan yang jelas, yaitu penyidikan pada kepolisian, penuntutan pada kejaksaan, dan mengadili pada lembaga peradilan yang terpisah.
Namun, dengan diberikannya kewenangan penyidikan kepada kejaksaan dalam UU Kejaksaan, sistem itu menjadi tercampurbaur kembali dan menimbulkan ketidakpastian hukum.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008