Semarang (ANTARA News) - Kalangan petani di Jawa Tengah tidak berminat menanam kedelai karena harga jual komoditas itu di pasaran rendah sehingga dibutuhkan varietas kedelai unggul yang bisa mendongkrak harga jual. Varietas kedelai yang dikembangkan petani merupakan jenis vareetas yang cocok untuk daerah subtropis, padahal Jateng termasuk iklim tropis sehingga mutu produksi tak optimal, kata Kepala Dinas Pertanian Tanaman Pangan (Dispertan) Jateng, di Semarang, Rabu. Ia mengakui, varietas kedelai yang ada sekarang ini memang kurang menarik bagi petani sehingga Dispertan Jateng meningkatkan luas area, peningkatan teknologi varietas, dan menambah jumlah kebutuhan dengan meningkatkan produksi. Aris optimistis, Litbang Departemen Pertanian, dalam pada masamendatang mampu menemukan varietas yang cocok untuk daerah tropis. Varietas kedelai yang selama ini ditanam petani, yakni wilis, lokon, galunggung, dan malabar. Meski kedelai jenis itu sebenarnya dari iklim subtropis, tapi telah dilakukan silangan agar mampu beradaptasi dengan kondisi Jateng. Wakil Ketua Komisi B DPRD Jawa Tengah Muhammad Haris mengatakan, penurunan minat petani menanam kedelai disebabkan tingginya biaya produksi dan rendahnya harga jual sehingga mereka lebih memilih menanam padi atau jagung karena dianggap lebih praktis dan ekonomis. "Pemerintah perlu melakukan rekayasa genetika untuk menghasilkan varietas kedelai yang cocok di Indonesia. Masa tanam kedelai yang membutuhkan minimal dua kali pemupukan dan empat hingga lima kali penyemprotan sampai panen juga menjadi faktor penghambat peningkatan produksi," katanya. Ia mengatakan, rentang waktu dari bulan Desember 2007-Februari 2008 yang sebenarnya merupakan waktu panen raya kedelai diperkirakan hanya terjadi di 15 Kabupaten/kota dengan jumlah sekitar 33.199 ton. Panen terbesar di Kabupaten Grobogan kurang lebih 13.831 ton. Sedangkan Wonogiri dan Pemalang hanya 1 ton sehingga fakta ini menunjukan minat terhadap kedelai sangat kurang. "Memang ada penurunan jumlah produksi kedelai dalam kurun 3 tahun terakhir. Jika pada tahun 2005, jumlah produksi sebesar 167.107 ton, tahun 2006 (132.261 ton), dan 2007 (119.932 ton). Padahal kebutuhan untuk Jateng ada kecenderungan meningkat, yakni tahun 2005 sebesar 348.834 ton, tahun 2006 (453.062 ton), dan tahun 2007 (467.174 ton). Karena itu, katanya, Jateng terpaksa mendatangkan kedelai dari luar provinsi sebesar 196.766 ton pada tahun 2005, tahun 2006 (332.705 ton), dan tahun 2007 (358.036 ton) untuk memenuhi kebutuhan. Anggota Komisi B DPRD Jateng, Fatria Rahmadi mengatakan, kenaikan jumlah kedelai yang didatangkan dari daerah lain (impor) akibat lemahnya keberpihakan dan perhatian pemerintah terhadap petani dan pelaku usaha kecil. Politik yang cenderung mengabaikan petani dan pelaku usaha kecil, katanya, menyebabkan segala sesuatu bergantung pada impor. Bahkan, sampai mekanisme pasar pun dikendalikan importir. Pemerintah seharusnya bisa memprediksi dan mengantisipasi kenaikan harga kedelai melalui kebijakan peningkatan produksi dalam negeri, sekaligus melindungi petani melalui instrumen stabilisasi harga pascapanen dan sistem tata niaga yang sehat dan adil.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008