Paris (ANTARA News) - Seorang ahli Indonesia atau indonesianis asal Prancis, Francois Raillon, mengingatkan pemerintah Indonesia seharusnya tidak meneruskan tindakan hukum terhadap mantan presiden Soeharto dalam kondisi kritis yang dialami saat ini. Menurut Francois Raillon di Paris, Rabu, selain dugaan korupsi, kolusi, nepotisme dan sejumlah tindakan lainnya yang dianggap sudah merugikan negara, maka jasa-jasa Soeharto juga tidak kalah penting dalam sejarah Indonesia, berupa stabilisasi politik selama tiga dasawarsa, kemakmuran ekonomi, dan swasembada beras. "Sejarawan sudah mencatat "kesalahan" yang dilakukan Soeharto sewaktu berkuasa. Tapi lihatlah juga jasa yang dilakukannya. Ia sudah menciptakan golongan menengah yang sekarang menjadi demokrat, terjaganya keterpaduan NKRI meskipun dilakukan dengan kekerasan," ujarnya kepada ANTARA. Direktur Pusat Penelitian Ilmiah Nasional (CNRS) kajian Asia Tenggara itu juga menambahkan bahwa kesalahan Soeharto tidak dapat dipikul oleh Soeharto sendiri saja, meskipun dialah arsitek dan dan pemimpin tertinggi orde baru. Alasannya, menurut Raillon, Soeharto tidak mungkin berkuasa atas bangsa sebesar Indonesia tanpa bantuan dan dukungan sebagian besar masyarakat Indonesia itu sendiri. "Tidak dapat dipungkiri kalau pihak-pihak yang menolak dan mengutuk rezim Orde Baru ternyata banyak juga yang pernah menjadi elit atau pembantu Soeharto selama kekuasaannya," tutur pakar politik dan sejarah yang sudah mempelajari Indonesia sekitar 40 tahun itu. Guru besar kajian Asia Tenggara Sekolah Tinggi Ilmu Sosial (EHESS) Paris itu menuturkan mengadili Soeharto sebenarnya tidak bijaksana, karena secara potensial dapat memecah-belah masyarakat. Ditanya bagaimana dengan korban tindakan kejahatan yang dituduhkan dilakukan Soeharto, menurut dia, mereka sebaiknya direhabilitasi nama baiknya dan diganti rugi oleh pemerintah berdasarkan proses yang berlaku. Namun, tambahnya, penilaian atas dosa dan jasa Soeharto tidak dapat dilakukan melalui proses peradilan. "Biarkan sejarawan yang mencatat semuanya," ungkapnya. Berkaitan dengan pelanggaran Tap MPR No.11 tahun 1998 jika Soeharto tidak disidangkan, Raillon justru menganggap bahwa penghentian terhadap kasus hukum Soeharto bukannya melanggar Tap MPR, mengingat sudah ada usaha nyata mengusut harta kekayaannya. "Pengusutan itu harus tetap diteruskan terhadap harta yang ditimbun baik oleh anaknya maupun kroninya," ungkapnya. Mengenai sikap Presiden Soesilo Bambang Yudoyono yang dianggap tidak tegas terhadap pengusutan kasus Soeharto, Raillon melihat bahwa sebagai kepala negara, Yudhoyono memperlihatkan tingkat kepedulian yang tinggi terhadap Soeharto. Ada dua alasan mengapa Yudhoyono melakukan hal itu. Pertama, sebagai mantan orang nomor satu Indonesia, Soeharto mau tidak mau wajib diperhatikan kondisi terakhirnya, terlepas dari kesalahan yang dilakukannya. Alasan yang kedua, seperti dikemukakan Raillon, Yudhoyono pernah menjadi orang dekat Soeharto pada masa jayanya. Yudhoyono mungkin masih merasa punya ikatan terhadap mantan atasannya, sehingga komitmennya untuk menindak Soeharto rasanya tidaklah menjadi kenyataan. Serahkan pada ilmuwan Sebenarnya jika Soeharto disidangkan, paham negara hukum di Indonesia makin kuat dan dalam hal itu kaum reformator diuntungkan. Sementara kroni atau pendukung Soeharto dirugikan. Namun, jika Soeharto tidak disidangkan, maka Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) lah yang diuntungkan. Raillon melihat selama kekuasaan Soeharto, masyarakat Indoneia berasal dari kondisi yang masih terbelakang dan belum berkembang pada waktu itu, sehingga masih belum mampu menjadi demokratis seperti pada zaman sekarang ini. Oleh karena itu, ia menganggap menyidangkan Soeharto dan rezimnya tidak bermanfaat atau tidak realistis, karena sebenarnya satu tipe masyarakat tertentu dengan nilai-nilai otoritarian seperti dialami di bawah kekuasaan Orde Baru tidak bisa disidangkan oleh lembaga peradilan mana pun. Ia mengajak masyarakat Indonesia membiarkan para ilmuwan untuk mengkaji, menilai dan menjelaskan apa yang terjadi di Indonesia selama 32 tahun di bawah seorang pemimpin seperti Soeharto. Tindakan seperti itu malah untuk kepentingan Republik Indonesia di masa yang akan datang. (*)
Copyright © ANTARA 2008