"Padahal, dalam suasana demokrasi, polisi bertugas tanpa senjata dan ramah terhadap masyarakat," kata Komaruddin, saat dihubungi di Jakarta, Selasa.
Komaruddin menilai hal itu mirip dengan situasi yang terjadi di Selandia Baru setelah aksi penyerangan terhadap masjid beberapa waktu sebelumnya. Polisi terpaksa bersiaga dengan persenjataan lengkap untuk mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan terburuk.
Karena itu, untuk mengantisipasi hal-hal yang tidak diinginkan selama perayaan Idul Fitri, Komaruddin menyarankan polisi untuk melakukan penjagaan dengan penyamaran dan tidak menunjukkan simbol-simbol Polri.
Tentang aksi ledakan yang diduga bom bunuh diri dilakukan dua hari sebelum Idul Fitri, Komaruddin menilai hal itu tentu berdampak bagi kesakralan hari raya umat Islam tersebut.
"Betapa pun mengganggu, karena sasaran aksi teror adalah nyawa manusia yang bersifat universal, bukan sekadar angka-angka," ujarnya pula.
Komaruddin menilai aksi bom bunuh diri di Kartasura, Kabupaten Sukoharjo merupakan bukti bahwa para pelaku teror telah kehilangan komando sentral.
"Para pelaku teror bekerja sendiri-sendiri, atas inisiatif sendiri, akhirnya keluar dari pakem aksi-aksi teror yang selama ini terjadi," katanya lagi.
Sebelumnya, telah terjadi ledakan yang diduga merupakan bom bunuh diri di Pospam I Tugu Kartasura, Jalan Ahmad Yani, Bundaran Kartasura, Kabupaten Sukoharjo pada Senin (3/6) malam, sekitar pukul 22.30 WIB.
Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2019