Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Ahmadiyah Indonesia (GAI) meminta masyarakat membedakan antara GAI dan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) karena meskipun sama-sama Ahmadiyah keduanya memiliki prinsip yang berbeda. "Kalau kami memang tak ada bedanya dengan umat Islam yang lainnya. Mirza Ghulam Ahmad itu hanya tokoh kami saja, beliau memang bukan nabi," kata Ketua II Pedoman Besar GAI Muslich Zainal Asikin di Badan Litbang Depag, Jakarta, Selasa. Dalam kesempatan itu, ia menyatakan menyambut baik 12 Penjelasan yang dikeluarkan Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) setelah melakukan tujuh kali dialog dengan sejumlah tokoh masyarakat dan pemerintah, termasuk dengan pihaknya (GAI). Menurut dia, nama "Ahmadiyah" yang dipakai sebagai nama kelompoknya bukan diambil dari nama pendirinya Mirza Ghulam Ahmad, tetapi diambil dari nama alias Nabi Muhammad, yakni Ahmad. "Kalau Ustadz Abu Bakar Ba`asyir pernah menyatakan Ahmadiyah sesat, itu pasti Ahmadiyah yang Qadian itu (JAI -red) bukan Ahmadiyah Lahore (GAI -red). Karena ketika ustadz Ba`asyir dikucilkan oleh Orba justru beliau berceramahnya di tempat kami. Jadi kami tak pernah ada persoalan," katanya. Namun ia menyesalkan, MUI pada 2005 sempat menyatakan bahwa kedua Ahmadiyah, baik JAI maupun GAI sesat dengan alasan GAI mengimani Mirza Ghulam Ahmad, padahal imam bagi GAI sekedar tokoh panutan saja bukan Nabi. "Justru Ahmadiyah Lahore itu dibentuk pada awalnya untuk melawan pemahaman salah dari Ahmadiyah Qadian, sehingga lari ke Lahore," katanya. Ahmadiyah, menurut Tenaga Ahli Staf Khusus Wapres Dr Mafri Amir, berdiri di Qadian, India (sekarang Pakistan) pada 1889 oleh Mirza Ghulam Ahmad yang pada awalnya mengakui dirinya hanya sebagai Mujadid (pembaharu-red). "Sayangnya beberapa tahun kemudian ia mengaku sebagai Imam Mahdi yang memang diakui oleh sebagian umat Islam akan datang pada akhir zaman, lalu kemudian mengaku lagi sebagai Al Masih. Yang paling disayangkan sebelum meninggalnya ia mengaku sebagai Nabi," katanya. Menurut Mafri, posisi Mirza kemudian digantikan oleh pengikutnya Nuruddin yang konon seorang oportunis dan sangat dipengaruhi kolonial Inggris yang saat itu bercokol di India. Nuruddin ini sangat berpengaruh terhadap kehidupan Mirza. Pengganti Nuruddin adalah Basiruddin, anak dari Mirza, yang semakin menegaskan bahwa ayahnya adalah Nabi dan Rasul, sehingga kemudian terpecahlah Ahmadiyah menjadi dua. Dengan dikeluarkannya 12 butir penjelasan ini, urainya, berarti JAI menegaskan akidahnya yang berbeda-beda antara satu tokoh JAI dengan tokoh JAI lainnya menjadi akidah yang bersatu, yakni akidah Islam. Amir Pengurus Besar JAI Abdul Basit di tempat yang sama menyatakan meyakini bahwa Muhammad Rasulullah adalah nabi penutup (Khatamun Nabiyyin) dan Mirza Ghulam Ahmad hanya sebagai guru dan pembawa berita gembira, peringatan serta pengemban mubasysyirat. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008