Jakarta (ANTARA News) - Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat tidak menerima gugatan pembatalan kontrak kerja sama Blok Cepu karena dinilai prematur. Pada sidang pembacaan putusan di PN Jakarta Pusat, Selasa, majelis hakim yang diketuai Moefri menyatakan gugatan belum saatnya diajukan karena kerugian yang didalilkan oleh penggugat belum terjadi. "Dalam gugatannya, penggugat mendalilkan kerugian berdasarkan asumsi dan perkiraan yang belum terjadi, bukan berdasarkan kerugian yang nyata," kata Moefri. Padahal, menurut majelis, salah satu unsur yang harus dipenuhi dalam gugatan perbuatan melawan hukum adalah kerugian yang nyata dan harus dinyatakan secara rinci. Blok Cepu, lanjut majelis, baru pada tahap awal dan belum beroperasi, sehingga terlalu dini untuk mengatakan bahwa kontrak kerja sama itu dengan pihak asing menimbulkan kerugian. Majelis sepakat dengan keberatan yang diajukan oleh para tergugat bahwa gugatan yang diajukan oleh para penggugat adalah prematur. Gerakan Rakyat Penyelamat Blok Cepu (GRPBC) sebagai penggugat yang antara lain beranggotakan mantan Ketua MPR Amien Rais, ekonom Kwik Kian Gie, Wakil Ketua DPD Laode Ida, Anggota DPD Marwan Batubara, Anggota DPR Drajad Wibowo dan Alvin Lie, menggugat Pemerintah cq Presiden cq Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM), Pertamina, Exxonmobil Indonesia, BP Migas serta Kementerian BUMN. Dalam gugatannya, GRPBC menilai kesepakatan Blok Cepu mengandung sejumlah permasalahan hukum yang terjadi sejak proses penunjukan kontraktor Blok Cepu yaitu Humpuss Patragas (HPG). Masalah ini kemudian berlanjut kepada pengalihan saham HPG kepada Exxon mobil, hingga perubahan kontrak Technical Assistance Contract (TAC) menjadi Production Sharing Contract (PSC) atau Kontrak Kerjasama (KKS). Mereka menilai KKS Blok Cepu telah melanggar hukum azas kepatutan dan kepentingan umum. KKS itu, menurut mereka, juga dilakukan dengan melanggar beberapa peraturan perundang-undangan, sehingga harus dinyatakan cacat hukum dan batal demi hukum. Penggugat menilai KKS itu tidak memuat ketentuan-ketentuan minimum yang disyaratkan oleh pasal 11 UU No 22 Tahun 2001 tentang Migas, yang mengharuskan adanya pengelolaan lingkungan hidup, pengutamaan pemanfaatan barang dan jasa dalam negeri, pengembangan masyarakat sekitarnya dan jaminan hak-hak masyarakat adat. KKS itu juga dinilai telah melanggar ketentuan pasal 38 PP No 35 Tahun 2004 yang menyatakan KKS harus tunduk pada hukum Indonesia. GRPBC dalam gugatannya juga menyertakan dugaan praktik KKN dalam proses penunjukkan pengelola Blok Cepu, di antaranya amandemen TAC Blok Cepu pada 21 Maret 1997 yang menghapus aturan larangan pengalihan hak dan saham kepada pihak asing, yang dapat digolongkan sebagai manipulasi hukum. KKS Blok Cepu antara Exxonmobil dan Pemerintah pada 17 September 2005, menurut GRPBC, merupakan hasil manipulasi hukum dan terindikasi praktik KKN karena satu pekan sebelumnya Pemerintah menerbitkan PP No 34 Tahun 2005 pada 10 September 2005 yang khusus memberi aturan pengecualian terhadap jangka waktu KKS. PP itu, menurut GRPBC, hanya merupakan bentuk akomodasi terhadap kepentingan Exxonmobil yang meminta jangka waktu kontrak pengelolaan selama 30 tahun. Selain menuntut pembatalan kontrak KKS Blok Cepu, GRPBC juga meminta agar para tergugat dinyatakan telah merugikan keuangan atau perekonomian negara. GRPBC juga meminta agar majelis hakim menetapkan hanya Pertamina atau perusahaan minyak nasional lainnya yang ditunjuk sebagai kontraktor dan operator Blok Cepu. Menanggapi putusan majelis hakim, kuasa hukum GRPBC, Wirawan Adnan, mengatakan, kerugian yang nyata sebenarnya sudah terjadi dalam pengelolaan Blok Cepu yang dipegang oleh tangan asing. (*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008