Brisbane (ANTARA News) - Indonesianis kondang Universitas Nasional Australia (ANU), Greg Fealy, berpendapat pemberian gelar "mantan diktator" kepada Presiden RI kedua, Soeharto, dalam pemberitaan banyak media massa Barat merupakan tindakan yang menyesatkan publik pemirsa dan pembaca. "Saya kira menyesatkan pemberian atribusi (gelar, red) seperti itu kepada Soeharto karena Soeharto tidak memegang kekuasaan negara sendirian. Dia selalu menyeimbangkan kekuatan lain dalam masyarakat dan militer. Dia tidak bisa memaksakan kemauan dia di atas sistim politik dan negara," katanya. Kepada ANTARA News yang menghubunginya dari Brisbane, Selasa pagi, dosen dan peneliti senior pada Sekolah Riset Studi-Studi Pasifik dan Asia (RSPAS) ANU itu mengatakan, pemberian gelar atau sebutan "mantan diktator" kepada Soeharto tidak mencerminkan kondisi yang ada dalam sistem kenegaraan Indonesia selama 32 tahun ia berkuasa. Karena itu, Indonesianis yang merampungkan pendidikan doktoralnya di Universitas Monash dengan disertasi tentang studi partai Islam tradisionalis Nahdlatul Ulama (NU) itu menilai pemberian atribusi mantan diktator kepada Soeharto menyesatkan karena dia "belum pada tingkat diktator" seperti halnya mantan pemimpin Uganda, Idi Amien, Pol Pot (Kamboja) atau pun Stalin (Rusia). "Soeharto belum pada tingkat diktator seperti kalau kita membandingkan dirinya dengan Idi Amien, Pol Pot atau pun Stalin ...," kata editor buku "Voices of Islam in Southeast Asia: A Contemporary Sourcebook" bersama Virginia Hooker (2006) itu. Sejak penguasa Orde Baru itu kembali dirawat di Rumah Sakit Pusat Pertamina (RSPP) Jakarta 4 Januari lalu, media massa Barat, termasuk Australia, menjadikannya obyek pemberitaan mereka. Di antara media massa Australia yang memberikan perhatian besar terhadap mantan presiden RI yang disebut Robert Edward Elson, penulis buku " Soeharto, Political Biography (Oktober 2001)", sebagai "tokoh yang sangat penting selama abad ke-20 di Asia" itu adalah Surat kabar "The Australian", Stasiun TV "Channel Seven" dan ABC. Ketiga media arus utama Australia tersebut terus mengikuti perkembangan kondisi kesehatan Soeharto dan implikasinya terhadap penyelesaian kasus dugaan korupsi yang dituduhkan kepadanya oleh pemerintah RI. Hanya saja, selain melekatkan istilah netral untuk menyebut Soeharto sebagai "mantan presiden RI" maupun "jenderal bintang lima", ketiganya juga memberikan atribusi "mantan diktator" kepadanya. Dalam berita "The Australian" edisi akhir pekan (12-13 Januari 2008) bertajuk "Family Rush to Suharto`s Bed" halaman 13 misalnya, surat kabar milik konglomerat media global, Rupert Murdoch" itu sampai dua kali menyebut Soeharto sebagai "mantan diktator Indonesia". Soeharto kembali menghuni ruang "president suite" Nomor 536 di lantai lima gedung RSPP pada 4 Januari 2008 sekitar pukul 14.15 WIB setelah tim dokter menemukan adanya penurunan kadar hemoglobin darah dan tekanan darah turun serta terjadinya penimbunan cairan (oedema). Sejak lengser dari jabatan presiden pada 21 Mei 1998, pemimpin yang lahir di Kemusuk, Argomulyo, Yogyakarta, 8 Juni 1921 ini telah beberapa kali dirawat di rumah sakit karena beragam penyakit, seperti pendarahan usus, jantung, dan paru-paru. Dia pernah dirawat di RSPP pada 20 Juli 1999 karena stroke ringan. Setelah itu, ia kembali masuk rumah sakit yang sama pada tahun 2000, 2001, 2002, 2004, 2005, 2006 dan 2008.(*)

Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008