Jakarta (ANTARA) - Penulis novel laris The Traveler, John Twelve Hawkes, pernah menyatakan bahwa, "Human beings are tool-making animals. Since the prehistoric era, we have created and used a wide variety of objects" (umat manusia adalah binatang pembuat alat. Sejak zaman prasejarah, manusia telah menciptakan dan menggunakan berbagai jenis benda).
Manusia memang telah lama dikenal sebagai mahkluk yang kreatif, karena dengan kreativitas yang dimilikinya itulah manusia bisa menjadi spesies yang paling maju di planet Bumi ini.
Namun pada saat ini di mana permesinan dan otomatisasi telah menguasai beragam aspek kehidupan, tampaknya manusia terlena untuk tidak lagi menggunakan kreativitasnya secara optimal.
Padahal dengan kreativitas itulah dapat tercipta berbagai inovasi yang dapat membantu umat manusia memecahkan berbagai permasalahan yang dihadapinya. Misalnya terkait dengan sektor perekonomian yang mengandalkan sumber daya alam yang tidak terbarukan, seperti minyak dan gas bumi. Bila sumber daya alam tersebut telah habis, maka penting sekali bagi manusia untuk mengerahkan kreativitasnya dalam mencari solusi.
Wakil Ketua Komisi X DPR RI Sutan Adil Hendra menyatakan pentingnya mengembangkan sektor ekonomi kreatif nasional sebagai salah satu solusi bila aspek perekonomian yang mengandalkan sumber daya alam habis pada masa mendatang.
Ia mengemukakan bahwa DPR RI bersama Pemerintah telah menetapkan Rancangan Undang-Undang (RUU) Ekonomi Kreatif (Ekraf) menjadi RUU Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas tahun 2019.
RUU Ekraf tersebut diharapkan juga menjadi solusi pendukung perekonomian Indonesia bila nanti sumber daya alam telah habis. Apalagi Sutan mengingatkan bahwa pertumbuhan sektor ekonomi kreatif diproyeksikan bakal terus naik dan melampaui pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu politisi Partai Gerindra itu juga mengingatkan bahwa jumlah tenaga kerja di sektor ekonomi kreatif pada 2019 diperkirakan mencapai 17,2 juta orang.
Dengan kenaikan itu, ujar dia, ekonomi kreatif dapat mengungguli berbagai sektor lainnya seperti pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik dan gas, konstruksi pengangkutan dan komunikasi serta keuangan, real estat, dan jasa perusahaan.
Ia memaparkan bahwa ekonomi kreatif mampu menempati urutan empat serapan tenaga kerja terbesar dari 10 sektor ekonomi nasional.
Berdasarkan data Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf), sektor ekonomi kreatif di dalam negeri pada akhir 2018 berhasil menyumbang 7,44 persen terhadap Pendapatan Domestik Bruto (PDB) sebesar Rp1.102 triliun dan diproyeksi meningkat pada akhir 2019 sebesar Rp1.200 triliun.
Gandeng Pemda
Dalam mengembangkan ekonomi kreatif di Tanah Air, Bekraf juga telah menggandeng 25 pemerintah daerah (pemda) dan tiga asosiasi untuk mengembangkan ekosistem ekonomi kreatif nasional sesuai dengan potensi daerah masing-masing.
Kepala Bekraf Triawan Munaf mengingatkan bahwa Indonesia memiliki keanekaragaman budaya sehingga penanganan bidang ekonomi kreatif Nusantara juga berbeda dengan negara lainnya seperti Korea Selatan.
Dalam penandatanganan nota kesepahaman di Kantor Bekraf Gedung Kementerian BUMN Jakarta, 24 Mei 2019, 25 pemda yang terdiri dari empat provinsi, 11 kota dan 11 kabupaten menandatangani MoU kerja sama dengan Bekraf, dan tiga asosisi lainnya yaitu Ikatan Pecinta Batik Nusantara (IPBN), Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), dan Asosiasi Komik Indonesia (Aksi).
Triawan berharap dengan adanya kerja sama ini, ekosistem ekraf nasional semakin kuat sehingga kontribusi terhadap PDB bisa meningkat dan membuka peluang kerja yang lebih besar lagi.
Ia pun mengimbau para pemda dapat mendorong pelaku ekonomi kreatif di daerah masing-masing mampu menciptakan karya terbaik agar mampu bersaing secara global.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Hubungan Antarlembaga dan Wilayah Bekraf, Endah Wahyu menyampaikan saat ini Bekraf sudah bekerja sama dengan 66 pemda dan 50 asosiasi/komunitas.
Contoh pengembangan ekonomi kreatif yang dilakukan hasil kolaborasi pemda-Bekraf antara lain adalah Pemerintah Kota Batam, Kepulauan Riau, yang telah menyiapkan wadah pengembangan ekonomi kreatif bagi milenial.
Wali Kota Batam Muhammad Rudi usai penandatangangan nota kesepahaman dengan Bekraf tersebut memaparkan bahwa bentuk riil kerja samanya bisa berupa pelatihan bagi para pelaku ekonomi kreatif sesuai subsektornya masing-masing.
Menurut dia, pegiat ekonomi kreatif milenial perlu diberikan wadah, agar usahanya berkembang, dan berjalan sesuai dengan arah yang benar.
Muhammad Rudi percaya ekonomi kreatif mampu mendukung pertumbuhan ekonomi daerah setempat di Batam yang juga terkenal sebagai kota industri.
Dengan adanya kerja sama dengan berbagai pemda tersebut, Bekraf juga berharap bahwa ke depannya sektor ekonomi kreatif juga mampu menjadi tulang punggung perekonomian nasional.
Pendataan
Bekraf juga tengah melakukan pendataan terhadap para pelaku ekonomi kreatif di seluruh wilayah Indonesia, melalui platform Bekraf Information System in Mobile Application (BISMA).
Wakil Kepala Badan Ekonomi Kreatif Ricky Joseph Pesik di Malang, pada 16 Mei lalu, mengatakan selama ini basis data pelaku ekonomi kreatif di Indonesia belum teridentifikasi secara mendetil. Hal tersebut menjadi tugas besar yang harus dibenahi dalam upaya untuk mendorong sektor ekonomi kreatif.
Ricky menjelaskan dalam aplikasi BISMA tersebut data mendetil dari para pelaku usaha kreatif di seluruh Indonesia bisa diketahui, seperti sektor usaha, produk yang dihasilkan, dan lainnya. Selain itu juga termasuk mengembangkan jejaring antar pelaku usaha di Indonesia.
Identifikasi data dari para pelaku usaha kreatif tersebut, juga akan memudahkan para pengambil kebijakan untuk menentukan langkah karena hambatan-hambatan yang dihadapi para pelaku usaha bisa teridentifikasi melalui platform tersebut.
Bekraf juga menargetkan sebanyak 50 persen dari 8,2 juta unit usaha ekonomi kreatif yang tercatat mau mendaftar hak kekayaan intelektual (HKI) pada akhir tahun 2019.
Deputi Fasilitasi HKI dan Regulasi Bekraf Ari Juliano Gema di Jakarta, akhir lalu, juga menilai bahwa HKI merupakan inti dari industri ekonomi kreatif, sehingga mendaftar HKI adalah hal yang penting untuk dilakukan.
Menurut Ari Juliano Gema, pelaku ekonomi kreatif yang mendaftar HKI masih sangat sedikit disebabkan oleh beberapa faktor, yang paling utama adalah kurangnya pemahaman.
Selain itu, ujar dia, proses pendaftaran juga menjadi faktor lain yang membuat banyak pelaku ekonomi kreatif belum tertarik untuk mendaftar HKI.
Untuk menangani hal tersebut, Ari menyebut pihaknya sudah menjalankan program fasilitasi sertifikasi HKI di sekitar 80 kota dan kabupaten dengan harapan bisa membantu meningkatkan para pendaftar.
Akses permodalan
Bekraf juga sedang mematangkan skema pembiayaan yang bisa menjaminkan HKI untuk merespons sulitnya pelaku usaha kreatif mengakses lembaga pembiayaan formal.
Untuk itu, Bekraf juga membukakan akses permodalan di lembaga-lembaga finansial technology (fintech) dan pemanfaatan dana APBN dari Lembaga Pengelola Dana Bergulir (LPDB) yang bisa diakses oleh ekraf di tiap-tiap daerah hingga kabupaten/kota.
Deputi Hubungan Antar Wilayah dan Lembaga Bekraf Endah Wahyu Sulistianti menambahkan bahwa Bekraf memfasilitasi para pelaku ekraf untuk menggaet dana pembiayaan dari investor.
Selain itu, Bekraf juga mendapatkan alokasi dana hibah dari APBN untuk membantu kalangan pelaku ekraf dengan nilai pembiayaan maksimal Rp200 juta melalui proses kurasi yakni kegiatan yang berhubungan dengan memelihara, menjaga, dan sekaligus mengawasi usaha.
Bahkan dalam skema bantuan hibah ini, para pelaku usaha diperbolehkan untuk menggunakannya untuk biaya tiket perjalanan ke luar negeri terkait pengembangan usaha.
Dengan masih adanya tantangan bagi pelaku usaha ekraf dalam mendapatkan manfaat ekonomi dari inovasi yang mereka hasilkan, Anggota Komisi X DPR RI Ledia Hanifa Amaliah juga menegaskan agar pelaku ekraf perlu didukung sepenuhnya untuk mendapatkan HKI, agar pengembangan ekraf nasional bisa lebih luas lagi.
Politisi PKS itu mengingatkan bahwa sektor ekonomi kreatif di Indonesia saat ini telah mengalami perkembangan yang signifikan.
Meski demikian, lanjutnya, produk yang dihasilkan oleh pelaku ekonomi kreatif Nusantara juga harus bersaing dengan produk-produk dari luar negeri. Selain itu, ia juga menegaskan agar regulasi yang ada tidak boleh membela produk impor dibanding produk dalam negeri.
Untuk itu, ujar dia, RUU Ekonomi Kreatif yang saat ini sedang digodok juga harus bisa mengoptimalkan dukungan terhadap pembentukan ekosistem ekonomi kreatif dari hulu ke hilir.
Dengan pembentukan ekosistem yang membuat nyaman pelaku ekraf dalam negeri, serta regulasi yang lebih berpihak terhadap produksi kreativitas domestik, maka ke depannya diyakini Indonesia akan dapat mengoptimalkan potensi ekonomi kreatif sebagai "Kartu As" perekonomian nasional.
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019