Jakarta (ANTARA News) - Mantan Kepala Bulog, Widjanarko Puspoyo, mengaku tidak membaca kontrak impor sapi dari Australia pada 2001, meski dia menandatanganinya.
"Tidak perlu dibaca," katanya ketika memberikan keterangan dalam perkara impor sapi oleh Bulog di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin.
Widjanarko yang menjadi terdakwa dalam kasus itu mengakui dirinya tidak membaca kontrak pengadaan sapi, karena sebagai Kepala Bulog, dirinya harus menandatangani puluhan kontrak setiap hari.
"Bisa limapuluh," kata Widjanarko.
Widjanarko mengatakan, Kepala Bulog tidak perlu membaca ulang kontrak karena sudah ada mekanisme pembuatan kontrak.
Setiap pejabat di bawah Kepala Bulog, katanya, sudah menyertakan kebutuhan masing-masing di dalam kontrak.
Sehingga, ia menilai, dapat diasumsikan kontrak yang harus ditandatangani oleh Kepala Bulog sudah mencerminkan kebutuhan keseluruhan Bulog.
"Kontrak itu sudah ada mekanisme prosedur pembuatan kontrak," katanya.
Dia mencontohkan, setiap biro sudah mencantumkan kebutuhan biro masing-masing sebelum draf kontrak sampai ke meja Kepala Bulog.
Widjanarko juga menegaskan Kepala Bulog tidak harus melakukan hal-hal teknis, seperti meneliti redaksional naskah kontrak dan meneliti data di lapangan.
"Kepala Bulog tidak pernah melakukan hal-hal yang sangat teknis," katanya.
Widjanarko Puspoyo diduga terlibat dalam kasus dugaan korupsi yang merugikan negara Rp11 miliar dalam impor sapi dari Australia tahun 2001 untuk pasokan Lebaran, Natal dan Tahun Baru yang dilakukan Bulog dengan PT Lintas Nusa Pratama (LNP) dan PT Surya Bumi Manunggal (SBM).
PT LNP mendapat kontrak Rp5,7 miliar untuk pengadaan 1.200 sapi sementara PT SBM mendapat kontrak Rp4,9 miliar untuk 1.000 sapi.
Namun, pengadaan sapi itu tidak terwujud sebagaimana disebutkan dalam kontrak kerjasama walaupun telah dilakukan pembayaran.
Widjanarko juga diduga menerima hadiah dalam pengadaan beras hasil kerjasama Bulog dengan Vietnam Southern Food Corporation pada 2001-2002.
Vietnam Food diduga telah mengirimkan uang sekitar 1,5 juta dolar AS ke PT Tugu Dana Utama yang kemudian mengirimkan 1,2 juta dolar AS ke PT Arden Bridge Investment (ABI) milik adik Widjanarko, Widjokongko
Puspoyo.
Dari PT ABI, uang diduga mengalir ke Widjanarko, Endang Ernawati (istri Widjanarko), Winda Nindyati (putri sulung Widjanarko), dan Rinaldy Puspoyo (putra Widjanarko).
Atas perbuatannya tersebut, Widjokongko dapat disangka melanggar hukum sesuai pasal 11 dan pasal 12 jo pasal 15 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi jo pasal 56 KUHPidana.
Kemudian Widjanarko juga diduga melakukan korupsi dalam ekspor 50 ton beras ke Afrika Selatan pada 2005, dengan perkiraan kerugian negara sekitar Rp76 miliar.
Sedianya Bulog akan mengekspor 50 ribu ton beras ke Afrika Selatan pada 2004. Namun proyek tersebut hanya merealisasikan ekspor 50 ton beras pada 2005. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008