Jakarta (ANTARA News) - Mantan Duta Besar Indonesia untuk Malaysia, Roesdihardjo, memenuhi panggilan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk diperiksa sebagai tersangka. Roesdihardjo tiba di Gedung KPK, Jakarta, Senin, dengan menggunakan kursi roda. Mantan Kapolri itu selama lebih dari dua pekan dirawat di RS Medistra karena penyakit saluran kemih. Roesdihardjo baru keluar rumah sakit pada Kamis, 10 Januari 2008. Pada pemeriksaan di KPK, Roesdihardjo didampingi kuasa hukumnya, Warsito Sanyoto. Warsito mengatakan, selain untuk diperiksa, kedatangan Roesdihardjo juga untuk menyerahkan surat keterangan sakit dari RS Medistra. KPK telah menetapkan Roesdihardjo sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pungutan liar di Kedubes RI, Kuala Lumpur, Malaysia, sejak Maret 2007. Pada 28 Desember 2007, berkas perkara Roesdihardjo seharusnya dilimpahkan dari penyidik kepada penuntut umum di KPK. Namun, Roesdihardjo tidak memenuhi panggilan KPK pada saat itu karena dirawat di RS Medistra. Roesdihardjo menjabat Duta Besar RI untuk Malaysia sejak 2004 hingga Februari 2007. Menurut pengakuan Kabid Imigrasi KBRI Kuala Lumpur, Arihken Tarigan, Roesdihardjo turut menikmati hasil pungutan liar di KBRI Kuala Lumpur, Malaysia. Setiap bulan, menurut Arihken, Duta besar RI di Malaysia, termasuk Roesdihardjo, mendapatkan "jatah" 30.000 hingga 40.000 Ringgit Malaysia (RM) setiap bulannya. Wakil Dubes mendapatkan 10.000 hingga 15.000 RM setiap bulan, sedangkan staf KBRI Kuala Lumpur mendapatkan ribuan ringgit setiap bulannya. KPK masih menghitung jumlah uang yang dinikmati oleh Roesdihardjo selama menjabat Dubes RI untuk Malaysia sejak 2004 hingga 2007. Mantan Dubes RI untuk Malaysia sebelum Roesdihardjo, Hadi A Warayabi, telah lebih dulu disidangkan di Pengadilan khusus tindak pidana korupsi dan divonis 2,5 tahun penjara karena turut menerima hasil pungutan liar tersebut. Warayabi ditahan oleh KPK pada 27 Juni 2007. Ia mengaku merasa dikelabui oleh para bawahannya, karena tidak pernah dilaporkan soal adanya SK ganda tentang pungutan biaya keimigrasian di Kedubes RI di Malaysia. SK ganda No 021/SK-DB/0799 tertanggal 20 Juli 1999 itu memungut tarif keimigrasian lebih tinggi dari yang seharusnya. Tarif yang disetorkan sebagai Pungutan Negara Bukan Pajak (PNBP) ke kas negara adalah sesuai aslinya, sedangkan selebihnya dinikmati oleh para pejabat Kedubes RI di Kuala Lumpur. Selisih pendapatan dari pemungutan menggunakan SK ganda itu, menurut KPK, mencapai Rp26,59 miliar atau 10,6 juta RM. (*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2008