"Kritik dan pendapat dapat disampaikan di ruang publik, tapi tidak absolut," kata Eko Sulistyo pada diskusi "Polemik: Memaknai Kelahiran Pancasila" di Menteng, Jakarta, Sabtu.
Menurut Eko Sulistyo, dalam konteks politik nasional saat ini, adanya pandangan politik yang berbada itu adalah keniscayaan dalam era demokrasi, tapi kemudian tidak bisa mengatasnamakan kebebasan berekspresi dengan menyampaikan ujaran kebencian dan informasi hoaks.
Dalam aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia, menurut dia, banyak undang-undang yang mengatur soal hak azasi manusia (HAM). "Aturan perundangan tersebut, memberikan ruang kepada negara untuk menangkal pelaku penyebaran ujaran kebencian, hoaks, dan fitnah," katanya.
Eko menambahkan, dalam konteks ruang politik yang lebih longgar, tidak semuanya absolut. "Ada pandangan yang bisa diberi ruang, tapi ada pandangan melanggar aturan perundangan dan harus ditangkal," katanya.
Eko Sulistyo menjelaskan, dalam konteks menyampaikan ekspresi, pada aksi demo yang terjadi di Jakarta pada 21-22 Mei lalu, ada aksi demo yang damai, tapi pada malam harinya ada aksi demo yang anarkis dengan memprovokasi aparat sehingga terjadi kerusuhan.
"Kejadian seperti ini adalah bisa terjadi di mana saja, ketika ada kelompok yang ingin memaksakan kehendak, karena itu harus segera diatasi," katanya.
Mengantisipasi agar hal yang tidak diharapkan tersebut tidak terjadi, menurut dia, seluruh komponen bangsa Indonesia harus mengutamakan persatuan bangsa.
Eko Sulistyo melihat, efek dari pelaksanaan pemilu 2019 ada penajaman ekspreasi masyarakat pada dukungan terhadap pasangan capres-cawapres 01 dan capres-cawapres 02 di sejumlah daerah. "Setelah pemilu, penajaman ini harus diminimalisir dan harus mengutamakan persatuan bangsa," katanya.
Pewarta: Riza Harahap
Editor: M Arief Iskandar
Copyright © ANTARA 2019