Banyumas (ANTARA News) - Ribuan perajin tempe "mendoan", penganan khas Kabupaten Banyumas, Jateng, terancam gulung tikar lantaran harga bahan baku kedelai yang terus melambung.
"Kami biasanya menggunakan kedelai kualitas super yang biasa digunakan untuk industri tahu, namun kini menggunakan kedelai biasa yang harganya lebih murah," kata Rusiani, perajin tempe di Desa Pliken RT 05 RW 06, Kecamatan Kembaran, Banyumas, Sabtu.
Menurut dia, harga kedelai super saat ini mencapai Rp7.700 per kilogram sedangkan kedelai biasa sekitar Rp7.400/kg.
Meski relatif lebih murah, katanya, harga kedelai biasa masih dirasa tinggi karena belum bisa menutup biaya produksi sehingga terus merugi.
Ia pun terpaksa mengurangi jumlah produksi dengan jalan mengurangi konsumsi kedelai dari 50 kg per hari menjadi 30 kg termasuk memperkecil ukurannya.
"Untuk tempe `mendoan`, kami bisa menaikkan harga dari Rp175 menjadi Rp200 per bungkus, sedangkan untuk tempe biasa tetap dijual Rp100 per bungkus, namun ukurannya diperkecil," katanya.
Menurut dia, upaya tersebut tetap tidak bisa menutup biaya produksi. Bahkan, konsumen pun sering mengeluhkan kenaikan harga dan kecilnya ukuran tempe.
"Apa boleh buat, kami harus melakukannya meski belum sebanding dengan biaya produksi," katanya.
Sementara itu perajin lainnya, Suparno mengatakan, perajin tempe tidak hanya mengeluhkan kenaikan harga kedelai tetapi juga kelangkaan minyak tanah.
Menurut dia, kelangkaan minyak tanah sudah sebulan ini terjadi di desanya sehingga terpaksa mencarinya di desa lain.
"Padahal untuk merebus 30 kg kedelai, membutuhkan minyak tanah sekitar 5 liter. Kami terpaksa mencari bahan bakar tersebut ke desa lain, namun belum tentu warung di sana mau menjualnya kepada warga lain desa," katanya.
Kondisi demikian, menurut dia, mengancam kelangsungan sentra industri tempe yang ada di desanya lantaran dari sekitar 4.000 kepala keluarga yang menjadi perajin tempe sekitar 90 persen.
(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008