Kupang (ANTARA News) - Proses hukum terhadap mantan Presiden Soeharto sebaiknya tetap dilanjutkan tanpa harus menghadirkan penguasa Orde Baru itu di meja pengadilan. "Kita semua tahu bahwa Pak Harto sekarang dalam keadaan kritis, tetapi proses hukum terhadap yang bersangkutan harus tetap dilakukan untuk mengetahui benar dan tidaknya masalah-masalah yang dihadapi," kata pengamat hukum dan politik, Nicolaus Pira Bunga SH.MHum di Kupang, Sabtu. Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang mengemukakan pandangannya tersebut berkaitan dengan kemungkinan pemberian amnesti kepada mantan Presiden Soeharto yang kondisi kesehatannya mulai memburuk di RS Pusat Pertamina Jakarta. Menurut dia, jasa dan pengabdian Pak Harto selama 32 tahun menjadi Presiden Republik Indonesia bukan menjadi tolok ukur memberikan amnesti atau pengampunan total atas persoalan hukum yang dihadapinya. "Jasa dan pengabdian seorang pemimpin terhadap bangsa dan negaranya adalah sebuah kewajiban. Karena itu, memberikan pengampunan kepada Pak Harto karena jasa-jasanya sebagai `Bapak Pembangunan` rasanya sangat kontradiktif dengan amanat Pasal 27 UUD 1945," kata Pira Bunga. Ia mengatakan, amanat Pasal 27 UUD 1945 itu sangat jelas memberi gambaran kuat bahwa semua warga negara diperlakukan sama di hadapan hukum. "Rasanya hukum menjadi sangat tidak bermakna jika semua persoalan hukum yang dihadapi Pak Harto tidak dilanjutkan hanya karena jasa-jasanya terhadap bangsa dan negara serta saat ini dalam kondisi kritis," tambahnya. Menurut dia, persoalan hukum yang dihadapi Pak Harto sebenarnya mudah ditangani oleh aparat penegak hukum, namun hal itu tampak menjadi rumit dan sulit untuk dilakukan karena digiring ke wilayah politik. Karena itu, kata dia, persoalan hukum yang dihadapi Pak Harto sebaiknya tetap diproses tanpa harus menghadirkan yang bersangkutan di meja pengadilan. (*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008