Jakarta (ANTARA News) - Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) menilai bahwa pemberian uang insentif legislasi 2007 untuk anggota DPR-RI tidak logis dan tidak dapat dipertanggungjawabkan, karena DPR sudah diberikan gaji dan fasilitas.
"Bukankah anggota DPR sudah diberi gaji dan fasilitas menjalankan peran sebagai anggota DPR. Di dalam perannya itu, sudah termasuk fungsi legislasi, bersama dengan fungsi pengawasan, anggaran, dan representasi," kata Direktur Eksekutif PSHK Bivitri Susanti, di Jakarta, Jumat.
Bahkan, gaji dan fasilitas DPR juga baru saja dinaikkan karena dianggap "tidak setara" dengan tugas berat yang harus diembannya. Saat ini seorang anggota DPR setidaknya bisa memperoleh "take home pay" (gaji bersih yang bisa dibawa pulang) kurang lebih Rp46 juta setiap bulannya (jumlah ini bervariasi tergantung posisinya).
Menurut dia, insentif sendiri pada dasarnya merupakan suatu bentuk penghargaan atas pencapaian yang luar biasa untuk mendorong adanya pencapaian yang baik di masa yang akan datang.
Atas dasar itu, pemberian uang insentif tersebut juga tidak logis karena kinerja legislasi jauh di bawah target yang ditetapkan yakni dari target 78 RUU ternyata hanya 39 termasuk 15 UU Pemekaran yang diselesaikan.
Bivitri menyebutkan, sebenarnya dari sisi penganggaran legislasi, sudah ada peningkatan. Pada 2005, anggaran ditingkatkan menjadi Rp560 juta/RUU, bahkan status terakhir pada Juni 2007, anggaran legislasi telah mencapai nilai Rp1,5 milyar/RUU dengan tambahan sebesar 500 juta dari uang pengesahan undang-undang.
Bahkan setiap anggota DPR yang terlibat dalam setiap pembahasan RUU sudah mendapat Rp5 juta setiap RUU.
Karena itu, pembayaran rapel uang insentif legislasi selama 2007 dengan jumlah sekitar Rp39 juta per orang (Rp1 juta per anggota untuk setiap RUU) sebenarnya justru merupakan keputusan yang dapat semakin menurunkan wibawa lembaga.
Apalagi, DPR sebelumnya menuai kritik dengan rencana pemberian uang sewa rumah Rp13 juta per bulan bagi anggotanya.
Menurut dia, apabila DPR mau konsisten dengan konsep berbasis kinerja, seharusnya alokasi insentif diberikan berdasarkan ukuran kuantitatif kinerja yang ditampilkan, misalnya dengan didasarkan kepada bobot pembahasan RUU yang telah disinggung, ketimbang mengambil langkah membagi rata insentif tersebut berdasarkan kepesertaan pada suatu RUU.
"Selanjutnya dipertimbangkan juga faktor kontribusi individual anggota tersebut," ujarnya.
Bivitri menegaskan, atas dasar tersebut, PSHK menolak praktek penganggaran yang tidak sesuai dengan kinerja DPR dan mendesak DPR untuk segera meninjau kembali keseluruhan konsep remunerasi, honorarium, dan insentif bagi anggota DPR.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008