Palu (ANTARA) - Majelis Ulama Indonesia (MUI) Kota Palu menggelar i’tikaf dan sholat tasbih berjamaah di malam ke 27 Ramadhan di Masjid Ar-Rahmat Desa Loli Dondo Kecamatan Banawa, Kabupaten Donggala, Sulawesi Tengah, Sabtu(31/5) dini hari.
Ketua MUI Kota Palu Prof Zainal Abidin, Jumat menjelaskan, bahwa beribadah atau lebih tepatnya mengabdi kepada Allah Swt adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan manusia.
Hal tersebut selaras dengan perintah yang tertuang dalam Al-Qur’an bahwa manusia dan jin diciptakan untuk tujuan mengabdi kepada-Nya.
Meskipun, kita beribadah maupun durhaka sesungguhnya sama sekali tidak mempengaruhi sedikit pun keagungan Allah. Artinya, perbuatan manusia tidak mempengaruhi keagungan, kebesaran dan kesucian Allah.
Rektor Pertama IAIN Palu ini menyebut ada tiga hal yang motivasi mendorong manusia untuk beribadah berdasarkan pendapat Ibnu Sina.
Pertama, motivasi ala pedagang. Seseorang beribadah karena didorong oleh keuntungan timbal balik dari sesuatu yang ia keluarkan, misalnya, ia menunaikan shalat, puasa, zakat, bersedekah, menolong sesama, atau lainnya dengan penuh pengharapan bahwa balasan surga kelak.
"Alasan seseorang rela berlapar-lapar puasa di alam fana ini adalah sebab di akhirat nanti ia bakal kenyang, susah-susah bangun malam untuk sembahyang tahajud sebab ia tahu ada kelezatan yang bakal diperoleh dari jerih payah itu," sebut Dewan Pakar Pengurus Besar Alkhairaat itu.
Segenap ibadah di dunia-pun, menurut dia, menjadi semacam modal dan aktivitas perniagaan, dengan kenikmatan surgawi sebagai laba yang diidam-idamkan.
Logikanya, siapa yang berinvestasi maka akan menuai hasilnya. Siapa yang menanam, akan memanen.
"Al-Qur’an sendiri di beberapa tempat mengabarkan bahwa siapa pun yang beriman dan berbuat baik akan mendapatkan surga. Bahkan janji itu dideskripsikan dengan mengambil kiasan surga yang berisi sungai-sungai mengalir, buah-buahan, juga bidadari. Ini adalah gambar dari keuntungan yang bakal diperoleh bagi orang-orang yang bersusah payah mengisi kehidupan dunia yang sementara ini dengan iman dan amal shalih,” Ujar Guru Besar IAIN Palu itu.
Selanjutnya, yang kedua, adalah motivasi ala budak atau buruh. Kata kunci dari dorongan beribadah ini adalah ketakutan. Seorang hamba menjalankan ibadah kepada Allah karena dibayang-bayangi ancaman akan siksaan api neraka.
"Seorang buruh yang takut majikannya, ia menunaikan tugas dalam rangka menghindari penderitaan di kehidupan kelak," sebutnya.
Orang dengan motivasi ini biasanya beribadah untuk sekadar lepas status sebagai hamba durhaka. Adzab-adzab yang dipaparkan dalam kitab suci menjadi pemicu kuat mengapa ia harus melakukan ini dan menghindari itu.
Baginya manusia sudah terlanjur diciptakan dan kini manusia harus melaksanakan kewajiban-kewajibannya. Konsekuensi dari pelanggaran atas kewajiban tersebut sudah sangat jelas, yakni siksa api neraka.
“Yang ketiga adalah motivasi orang ‘arif (mengenal Allah). Bagi orang jenis ini, beribadah adalah sebuah keniscayaan setelah menyaksikan betapa dahsyatnya karunia yang Allah berikan kepada alam semesta ini, setelah menghayati kebijaksanaan dan kemahasempurnaan Allah kepada makhluk-makhluknya,” ungkap Rois Syuria Nahdlatul Ulama Sulteng itu.
Karena itu, yang menonjol dalam ibadah mereka adalah keikhlasan yang mendalam, bukan kenikmatan surgawi yang di buru.
Menurut Prof Zainal, orang semacam ini tidak risau kalaupun harus ditempatkan di neraka. Bahkan, orang-orang seperti ini umumnya merasa tidak layak menerima ganjaran surgawi lantaran rasa fakirnya di hadapan keagungan Allah subhanahu wata’ala.
Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Muhammad Yusuf
Copyright © ANTARA 2019