Brisbane (ANTARA News) - Program peningkatan kemampuan bahasa Indonesia bagi para guru Australia menjadi satu-satunya program "Endeavour Language Teacher Fellowships" (ELTF) yang tidak diselenggarakan di negara asal bahasa tersebut, akibat pemberlakuan "peringatan perjalanan", kata seorang pejabat KBRI Canberra. "Program bahasa Indonesia ini adalah satu-satunya yang masih dilakukan di dalam negeri Australia akibat Pemerintah Federal Australia masih memberlakukan `travel advisory` (peringatan perjalanan) kepada Indonesia, sedangkan program bahasa-bahasa asing lainnya dilakukan `in country` (di negara asal bahasa)," kata Atase Pendidikan dan Kebudayaan RI di KBRI Canberra, Dr.R.Agus Sartono,MBA. Dalam penjelasannya kepada ANTARA, Rabu, tentang jalannya pelaksanaan program ELTF Bahasa Indonesia yang diikuti sedikitnya 26 orang guru se-Australia di Universitas Charles Darwin selama 19 hari sejak 2 Januari lalu itu, Agus mengatakan sudah saatnya Pemerintah Australia meninjau pemberlakuan "travel advisory" tersebut. "Saya berharap kebijakan ini bisa dievaluasi kembali karena pelaksanaan program semacam ini tanpa membolehkan guru-guru Australia ke Indonesia menjadi semacam `disinsentif`," katanya. Dikatakannya, pihaknya hanya menuntut pemberlakuan "peringatan perjalanan" selektif untuk daerah tertentu saja dan bukan seluruh wilayah Indonesia, karena hanya dengan begitu tindak lanjut kerja sama timbal balik bidang pendidikan dan kebudayaan kedua negara bisa berjalan lebih baik. "Artinya dengan begitu kerja sama di bidang pendidikan, seperti pertukaran pelajar tidak terhambat karena faktanya `travel advisory` ini memang menghambat," katanya. Sebagai contoh, Anggoro Rini, guru SMP Negeri 5 Yogyakarta yang hadir dalam program ELTF di Darwin ini mengatakan kepada dirinya bahwa setidaknya sudah ada empat SLTA Australia yang bersedia membangun kerja sama "sister school" (sekolah kembar) dengan SMP Negeri 5 Yogyakarta, kata Agus. "Nah ini kan perlu ada langkah konkrit Pemerintah Federal Australia untuk meninjau kembali `travel advisory` untuk Indonesia, karena hal itu merupakan hambatan terbesar selama ini," katanya. Berbeda dengan program Bahasa Indonesia, para guru Australia penerima beasiswa ELTF Departemen Pendidikan, Ketenagakerjaan, dan Hubungan Tempat Kerja (DEEWR) yang mengikuti program Bahasa China, Perancis, Jerman, Italia, Jepang, Spanyol dan Arab justru menjalaninya di negara asal bahasa-bahasa itu. Terlepas dari belum dapatnya program ELTF Bahasa Indonesia diselenggarakan di Indonesia, para peserta program ini mendapat materi metodologi pengajaran, keterampilan seni budaya tradisional dan kontemporer Indonesia, seperti merangkai janur dan tari-tarian daerah oleh para tenaga pengajar Indonesia, katanya. "Saya sendiri ikut mengisi sesi tentang pentingnya peranan para guru bahasa Indonesia di sekolah-sekolah Australia dalam membangun hubungan kedua negara dan bangsa. Jadi saya sekaligus memberikan `acknowledgement` (pengakuan) atas peran mereka yang besar itu," katanya. Agus mengatakan, ia pun memberikan kaset-kaset (CD) berisi informasi tentang beragam daerah wisata menarik di Indonesia sebagai bagian dari upaya mendukung program Kunjungan Wisata Indonesia 2008, serta berjanji memberikan mereka buku "Lentera Indonesia" sebagai bahan pengajaran bahasa Indonesia. "Saya sudah memesan 500 eksemplar buku Lentera Indonesia itu ke Pusat Pengembangan Bahasa Indonesia di Jakarta. Semoga dapat menambah bahan pengajaran bahasa Indonesia di sekolah-sekolah para guru itu nantinya. Yang pasti, mereka itu ikut berjasa membangun hubungan kedua negara," kata Agus. (*)
Copyright © ANTARA 2008