Pada prinsipnya, wewenang untuk mengatur pemanfaatan ruang, seluruhnya diserahkan kepada Kementerian ATR/BPN sebagai otoritas tunggal

Jakarta (ANTARA) - Kalangan akademisi menilai polemik tata ruang yang tak berkesudahan harus diselesaikan dengan ditunjuknya satu otoritas tunggal yang punya kewenangan penuh menangani persoalan tersebut.

Dekan Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor (IPB) Dr Suwardi mengatakan, salah satu solusi yang bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah tata ruang wilayah adalah dengan memperluas kewenangan Kementerian ATR/BPN untuk bisa mengatur lahan kawasan hutan.

"Pada prinsipnya, wewenang untuk mengatur pemanfaatan ruang, seluruhnya diserahkan kepada Kementerian ATR/BPN sebagai otoritas tunggal," katanya di Bogor, Jumat.

Otoritas itu, menurut dia, harus mampu melakukan koordinasi antarlembaga pemerintah sehingga tidak terjadi lagi tumpang tindih kewenangan terkait tata kelola lahan.

Sementara itu, lanjutnya, Kementeran Kehutanan dan Kementerian Pertanian sebaiknya digabung menjadi satu kementerian dengan kewenangan untuk mengelola perizinan dan pemanfaatan.

Suwardi juga menyarankan definisi dualisme lahan hutan dan kawasan hutan harus diputuskan agar tidak menjadi sumber konflik.

Penetapan kawasan hutan, tambahnya, tidak bisa dilakukan sepihak oleh Kementerian KLHK tetapi harus ditetapkan bersama Kementerian Pertanian dan ATR/BPN.

Senada dengan itu Sesditjen Hubungan Hukum, Kementerian ATR/BPN Ery Suwondo sependapat perlu ada otoritas tunggal untuk mengurus tata ruang agar tidak overlaping dengan kawasan hutan.

Selama ini, ATR/BPN lebih mengatur tentang penggunaan dan kepemilikan. Sedangkan KLHK kehutanan lebih mengatur tentang perizinan pemanfaatan sumber daya alam yang cenderung menyangkut tata ruang.

"Sebenarnya sebagian aturan tata ruang juga ada di ATR/BPN," kata dalam Forum Group Discussion (FGD) bertema '"spek Tenurial dalam Pengelolaan Lahan untuk Perkebunan dan Hutan Tanaman Industri (HTI)" di Kampus Fakultas Pertanian IPB Darmaga, Bogor.

Ery menambahkan, pembahasan RUU pertanahan antara DPR dan pemerintah diharapkan bisa mengharmonisasikan berbagai kesenjangan kebijakan antara antara Kementerian ATR/BPN dan KLHK.

Berbagai persoalan pengaturan tanah terlantar, kepastian dan legalitas masalah tumpang tindih peruntukan yang menyulitkan masyarakat dan dunia usaha memperoleh Mandatori sertifikat Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO) dan banyak hal, menurut dia, diharapkan bisa selesai melalui kebijakan yang tertuang RUU pertanahan ini.

Melalui RUU itu, Kementerian ATR/BPN ingin menjamin bahwa kawasan yang diberikan harus clear and clean dalam artinya bebas konflik.

Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof DR Yanto Santosa sependapat bahwa penunjukan otoritas tunggal diperlukan untuk mengurai keruwetan dan mencari solusi dalam penyelesaian konflik tenurial.

Apalagi, tambahnya, perkebunan sawit besar di Indonesia berasal dari kawasan hutan yang sudah dilepas.

"Secara aturan, kewenangan yang timbul dari hubungan hukum antara perizinan yang berkaitan dengan tata ruang sebaiknya dipegang Kementerian ATR/BPN sebagai institusi paling berhak," katanya.

Yanto menyarankan, ke depan perlu penetapan kawasan yang jelas untuk dialokasikan sebagai kawasan hutan dan kepentingan ekonomi.

"Ini penting, agar ketika isu deforestasi muncul, pemerintah secara berdaulat bisa menjelaskankan kepada dunia internasional tentang kebijakan pemanfaatan lahan di Indonesia," katanya.

Pewarta: Subagyo
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2019