Jakarta (ANTARA News) - Permohonan uji materiil UU No 8 Tahun 1992 tentang Perfilman yang diajukan oleh Masyarakat Film Indonesia dinilai tidak jelas.
Dalam sidang di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) di Jakarta, Rabu, Menteri Budaya dan Pariwisata, Jero Wacik, selaku wakil pemerintah secara tegas menyatakan bahwa masalah yang diajukan oleh pemohon tidak jelas atau kabur.
Menbudpar mempertanyakan apakah para pemohon menggugat keberadaan Lembaga Sensor Film (LSF) atau tidak puas dengan kinerja LSF.
"Di sini pemohon tidak jelas menguraikan kerugian konstitusional yang mereka alami dengan berlakunya UU Perfilman. Sehingga, tidak jelas apakah mereka menggugat keberadaan LSF atau tidak puas dengan kinerja LSF yang dinilai tidak proporsional dan tidak sesuai dengan keinginan para pemohon dalam menyensor film," tuturnya.
Apabila pemohon tidak merasa puas dengan kinerja LSF, lanjut Menbudpar, maka seharusnya pemohon dapat berkoordinasi dengan LSF agar aspirasi mereka tertampung.
UU Perfilman pun, kata dia, mengatur bahwa para sineas Indonesia dapat mengajukan keberatan terhadap sensor yang dilakukan LSF.
Uji materiil UU Perfilman diajukan oleh aktris Annisa Nurul Shanty, produser film Riri Riza dan Nia Dinata, penyelenggara festival film Lalu Rois Amriradhiani, serta sutradara film Tino Saroenggalo.
Pemohon menyatakan pasal 1 angka 4, pasal 33 ayat 1 sampai 7, pasal 34 ayat 1 sampai 3, pasal 40 ayat 1 sampai 3, dan pasal 41 ayat 1 huruf B UU Perfilman sepanjang mengenai ketentuan penyensoran bertentangan dengan pasal 28C ayat 1 dan pasal 28F UUD 1945.
Pemohon menilai selama ini tidak ada parameter atau ukuran yang jelas tentang penyensoran dan LSF tidak pernah mendasarkan kerjanya pada PP No 7 Tahun 1994 tentang LSF dan Peraturan Menbudpar No PM/31/UM.001/MKP/05 tentang Tata Kerja LSF dan Tata Laksana Penyensoran.
Mereka menyatakan penyensoran yang dilakukan LSF dengan cara menolak secara utuh film karena alasan tematis atau meniadakan dengan cara memotong bagian-bagian berupa judul, tema, dialog, gambar, atau suara tertentu telah merugikan hak konstitusional pemohon selaku pelaku perfilman Indonesia.
Selain mendengar keterangan pemerintah, sidang juga mendengar keterangan DPR dan pihak terkait, yaitu LSF, Persatuan Artis Film (Parfi) dan Persatuan Artis Sinetron (Parsi).
LSF yang diwakili ketuanya,Titie Said, menyatakan LSF selama ini bekerja untuk kepentingan umum dan melindungi masyarakat dari pengaruh budaya yang buruk.
LSF mengajukan permohonan untuk mengajukan bukti berupa rekaman gambar yang disensor dari film-film yang dipermasalahkan oleh MFI untuk menunjukan bahwa gambar yang disensor itu berpengaruh buruk.
Namun, Ketua MK Jimly Asshiddiqie meminta agar rekaman itu diputar dalam sesi sidang tersendiri yang tertutup.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008