Jakarta (ANTARA News) - Mantan Gubernur Bank Indonesia (BI), Syahril Sabirin, mengaku pernah mengeluarkan persetujuan pencairan dana bantuan hukum untuk tiga mantan pejabat BI senilai Rp15 miliar. Usai dimintai keterangan selama tujuh jam di Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu, Syahril mengatakan, pencairan dana bantuan hukum yang disetujui dalam rapat Dewan Gubernur pada Maret 2003 itu sudah dilakukan sesuai dengan ketentuan. "Kalau yang di masa saya, semua itu resmi, dilakukan atas beban anggaran BI. Tercatat," ujarnya. Dasar pemberian bantuan hukum kepada tiga mantan pejabat BI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo, menurut Syahril, adalah peraturan Dewan Gubernur BI tahun 2002. "Kalau pejabat-pejabat sedang lakukan tugas dan sudah jadi mantan pejabat tentu tidak akan sanggup bayar sendiri untuk pengacara, maka peraturan itu memberikan bantuan hukum kepada pejabat maupun mantan pejabat yang dipermasalahkan secara hukum waktu menjalankan tugasnya," ujarnya. Menurut dia, penggunaan dana bantuan hukum kepada tiga mantan pejabat BI senilai Rp15 miliar itu ada pertanggungjawabannya. Namun, ia mengakui, tidak tahu soal pertanggungjawaban itu karena sudah pensiun. Ia juga mengemukakan, tidak tahu menahu soal pencairan dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) senilai Rp100 miliar. "Saya pensiun 17 Mei 2003, setelah itu saya tidak ketahui," ujarnya. Kasus aliran dana BI mulai mencuat setelah Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, pada 14 November 2006 menyurati Ketua KPK saat itu, Taufiequrrachman Ruki, guna menyampaikan temuan hasil audit BPK tentang penyalahgunaan dana YPPI oleh Direksi BI. KPK memandang kasus aliran dana BI dalam tiga bagian, yang pertama adalah penyalahgunaan dana oleh Direksi BI, yang kedua penerimaan oleh para anggota legislatif, dan ketiga kemungkinan penerimaan dana oleh penegak hukum. Saat dimintai keterangan oleh KPK, Direktur Hukum BI, Oey Hoey Tiong, mengaku menyerahkan uang yang berasal dari dana YPPI kepada para mantan pejabat BI. Namun, Oey mengatakan, ia hanya menyerahkan uang itu kepada para mantan pejabat BI dan tidak mengetahui ke mana aliran dana itu kemudian. Ketika ditanya apakah uang untuk bantuan kasus hukum itu ada yang sampai ke tangan penegak hukum, Oey mengatakan, tidak tahu. Berdasarkan surat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), Anwar Nasution, kepada KPK, Oey yang pada 2003 menjabat Deputi Direktur Hukum disebut menerima langsung dana YPPI senilai Rp100 miliar dari Ketua YPPI Baridjusalam Hadi dan Bendahara YPPI, Ratnawati Sari. Selanjutnya, Oey mencairkan cek dan menyerahkan uang tunai kepada pejabat BI yang saat itu terjerat kasus hukum dana Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), yaitu Gubernur BI Soedrajad Djiwandono, Deputi Gubernur BI Iwan R Prawinata, dan tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo. Pada 22 Juli 2003 rapat Dewan Gubernur BI yang dipimpin Burhanuddin Abdullah mengeluarkan persetujuan untuk memberikan bantuan peningkatan modal kepada YPPI senilai Rp100 miliar. Dana itu pada akhirnya diberikan kepada panitia perbankan Komisi IX DPR periode 2003 senilai Rp31,5 miliar untuk penyelesaian masalah Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dan amandemen UU No 23 Tahun 1999 tentang BI. Sedangkan, yang selebihnya, Rp68,5 miliar, digunakan untuk menyelesaikan masalah hukum mantan Gubernur BI, mantan direksi dan mantan deputi gubernur senior BI dalam kasus BLBI. Selain dana dari YPPI, BI juga mengeluarkan uang sebesar Rp15 miliar dari anggaran BI sendiri untuk bantuan hukum kepada tiga Direksi BI, yaitu Heru Supraptomo, Hendro Budianto, dan Paul Sutopo, yang dikeluarkan pada masa Syahril Sabirin menjabat Gubernur BI. (*)

Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008