Jakarta (ANTARA) - Astrid Faidlatul, perantau, selalu membawa kotak makan dan botol minuman isi ulang tiap mudik ke kampung halamannya di Gresik, Jawa Timur. Buat dia, dua perlengkapan itu adalah sarana untuk cara mudah “berpuasa” sampah plastik kemasan makanan yang ia bawa selama perjalanan mudik.

Bagi sebagian orang, cara Astrid barangkali kurang praktis, karena ada bobot tambahan yang harus ia bawa di sepanjang perjalanan pulang ke kampung halaman.

Namun, bagi dara berusia 23 tahun itu, beban tambahan dari kotak makan dan botol minum tak sebanding dengan beban lingkungan akibat banyaknya sampah plastik yang mungkin dihasilkan masyarakat selama mudik.

“Agar benar-benar tidak menghasilkan sampah selama mudik, rasanya sulit, karena terkadang ada keinginan untuk jajan. Dari sana biasanya makanan atau minumannya sudah ada dalam kemasan. Buat saya yang penting bisa mengurangi sampah sudah bagus,” kata Astrid yang berencana mudik naik kereta api jelang Lebaran 2019.

Selain kemacetan, sampah turut menjadi masalah yang dihadapi tiap masa mudik berlangsung baik jelang, saat, maupun setelah lebaran.

Trennya, sampah di jalur mudik tepatnya di tempat peristirahatan (rest area) akan meningkat dua sampai tiga kali lipat dari hari biasa.

Petugas membawa keranjang sampah di tempat peristirahatan (rest area) tol, Jakarta, Rabu (29/5/2019). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)


Catatan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada musim mudik 2018, rata-rata produksi harian sampah di satu tempat peristirahatan mencapai 10 ton. Padahal, sampah yang dihasilkan saat hari biasa hanya sekitar tiga ton.

Sementara itu, untuk musim mudik tahun ini, KLHK memprediksi sampah yang dihasilkan dapat mencapai 16.100 ton per hari.

Angka itu diperoleh dari jumlah pemudik sebanyak 23 juta orang dikalikan dengan produksi harian sampah per orang yang rata-rata sebanyak 0,7 Kilogram. Dari jumlah itu, sampah yang banyak dihasilkan meliputi styrofoam, kemasan mi instan, botol minuman, gelas plastik minuman, kertas pembungkus makanan, peralatan makan plastik sekali pakai, dan bungkus plastik.


Tak cukup

Menurut pakar Lingkungan Hidup Universitas Indonesia Saraswati Putri, pola pikir dan kebiasaan jadi beberapa penyebab masalah sampah menumpuk saat musim mudik.

Sebagian besar orang, kata Saraswati atau yang akrab disapa Saras, kurang memahami bahwa pola konsumsinya mempengaruhi sampah yang dihasilkan.

Alhasil, banyak orang yang lebih memilih untuk menggunakan kemasan atau alat sekali pakai saat mengonsumsi panganan dan berbelanja karena lebih mudah dan praktis.

Padahal, pilihan itu, bagi Saras, punya dampak merusak bagi lingkungan. Apabila lingkungan tercemar, keseimbangan ekosistem pun ikut terganggu.

Oleh karena itu, menurut Saras perlu ada kebiasaan yang diubah. “Sekarang jargonnya tidak cukup hanya membuang sampah di tempatnya, tetapi harus mengurangi produksi sampah dari diri sendiri,” kata Saras yang juga terbiasa mudik via jalan darat ke kampungnya di Bali.

Walaupun demikian, pemikiran itu cukup sulit dipraktikkan, karena sebagian besar orang, termasuk para pemudik tidak terbiasa mengolah sampahnya sendiri.

Kebiasaan itu menyebabkan urusan sampah masih dianggap sepele karena saat limbah menumpuk yang direpotkan bukan para pembuangnya, tetapi petugas kebersihan, pengelola gedung/tempat, dan pemerintah.

Beberapa mobil memasuki kawasan peristirahatan (rest area) di jalan tol Jagorawi, Jakarta, Rabu (29/5/2019). (ANTARA/Genta Tenri Mawangi)


Kendala

Walaupun demikian, bagi Aditya Pradana, calon pemudik asal Semarang, tidak mudah untuk mengendalikan buangan sampah selama perjalanan pulang ke kampung halaman.

Alasannya, bapak berusia 32 tahun itu mengaku belum dapat menghentikan kebiasaan jajan cemilan berkemasan apabila berhenti di tempat peristirahatan.

Walaupun demikian, ia berusaha mengimbangi kebiasaan itu dengan membawa bekal yang dibungkus dengan kotak makanan.

“Biasanya, saya juga bawa bekal dengan wadah plastik dari rumah (buat perjalanan mudik),” kata Aditya yang rutin mudik lebaran bersama keluarga naik mobil.

Tidak hanya masalah kebiasaan jajan, Aditya juga masih memiliki dua anak balita yang menggunakan pampers sekali pakai. “Mau tidak mau, pasti ada sampah pampers saat mudik. Sulit soalnya kalau di perjalanan (anak, red) pakai pampers kain. Ribet mencucinya."

Selama mudik Lebaran 2019, KLHK kembali gencar mengampanyekan gerakan “mudik minim sampah” dan “mudik tanpa sampah plastik”. Seperti tahun-tahun sebelumnya, KLHK juga akan mendatangi beberapa tempat peristirahatan (rest area) dan ruas jalan tol untuk memberi sosialisasi mengenai pengendalian dan pengolahan sampah.

Walaupun banyak sosialisasi telah disampaikan, apabila kepedulian pemudik mengurangi limbahnya masih rendah, sampah akan terus jadi masalah yang ditemui di sepanjang jalur mudik tiap tahunnya.

Sementara Greenpeace Indonesia akan fokus mengkampanyekan pengurangan penggunaan plastik sekali pakai terhadap pemerintah dan swasta (produsen dan pengguna plastik).

"(Kampanye kami) Fokus utamanya reduction, terutama bagi industri dan pemerintah," kata Juru Kampanye Urban Greenpeace Indonesia Muharram Atha Rasyadi di Jakarta, Selasa.

Penyebabnya, bila kampanye pengurangan plastik sekali pakai hanya disosialisasikan kepada masyarakat, dampaknya tidak akan maksimal.

"Biasanya masyarakat diimbau agar tidak menggunakan kantong plastik, sedotan. Tapi kalau cuma masyarakat yang berubah, maka tidak akan signifikan. Pemerintah, harus mendukung melalui regulasinya. Swasta juga mesti berubah," katanya.

Pihaknya juga memanfaatkan bulan Ramadhan 1440 Hijriah sebagai momentum untuk mengkampanyekan #PantangPlastik kepada masyarakat.*


Baca juga: Greenpeace manfaatkan momen Ramadhan kampanyekan #PantangPlastik

Baca juga: Pulang kampung tanpa sampah plastik

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019