Nairobi (ANTARA News) - Kerusuhan dan kekerasan pasca-pemilihan umum (pemilu) di Kenya kemungkinan telah menewaskan hingga seribu orang, kata Odinga dari pihak oposisi, Senin. Negeri di Afrika timur itu telah dilanda gelombang demonstrasi dan bentrok antar-suku sejak Presiden Mwai Kibaki menang dari penantangnya, Raila Odinga, dalam pemilu pada 27 Dessember 2007. Hasil perolehan suara dalam pemilu tersebut dipertengkarkan. Pemerintah Kenya pada Senin menambah informasi jumlah korban meninggal menjadi 500 jiwa, sedangkan warga yang mengungsi sejumlah 255 ribu orang. Tetapi, Odinga kepada Kantor Berita Reuters mengatakan, jumlah korban tewas "lebih condong hingga seribu nyawa". Para pekerja sosial mengatakan jumlah korban bisa bertambah lagi dalam krisis terburuk di Kenya sejak negara itu merdeka dari Inggris pada tahun 1963. Pihak Kibaki mengundang Odinga dan beberapa pemimpin agama untuk bertemu pada Jumat juga membahas cara untuk menghentikan kekerasan, mengonsolidasikan perdamaian dan memperkukuh "rekonsiliasi nasional." Para pembantu Odinga belum dapat dimintai komentar atas undangan itu. Pemimpin Uni Afrika, John Kufuor, yang juga Presiden Ghana, akan tiba di Nairobi pada Sabtu. Odinga mengatakan, Presiden Ghana tersebut bisa mulai memandu pertemuan tersebut pada Rabu. Odinga sudah yakin akan memenangi pemilu 27 Desember 2007, namun Kibaki (76) meraih kemenangan dengan selisih tipis. Kedua pihak diduga melakukan kecurangan, dan para pengamat internasional mengatakan, pemungutan suara itu tidak sesuai standard demokratik. Odinga, yang pada Senin menginjak usia 63 tahun, mengatakan bahwa dia ingin tetap memelihara momentum untuk menggulingkan Kibaki. Pemerintah Kibaki menuduh Gerakan Demokratis Oranye (ODM) yang dipimpin Odinga "mensyukuri" konflik dan memicu kerusuhan lebih lanjut. Organisasi Masyarakat Hukum Kenya (LSK), menuduh pejabat pemilihan "tidak jujur dan tidak pantas". "Kibaki tidak punya legitimasi untuk memerintah dan ini adalah sumber dari masalah yang sedang negeri kami hadapi," demikian pernyataan organisasi tersebut. Juru bicara pemerintah Kenya, Alfred Mutua, menilai bahwa pernyataan itu tidak akurat, menyesatkan dan membingungkan masyarakat. "LSK seharusnya tidak berpihak dan seharusnya melaksanakan tanggungjawabnya dengan menahan diri untuk tidak membuat pernyataan berdasarkan peristiwa di mana mereka tidak ada, tidak tahu apa yang tejadi maupun kapan kejadiannya," kata Mutua. Masyarakat Kenya mengatakan bahwa saling tidak percaya antara Odinga dan Kibaki menjadi kendala utama segala bentuk penyelesaian. Kibaki mengatakan, dia siap untuk membentuk "pemerintahan persatuan nasional" namun Odinga menuntut agar Kibaki turun dari jabatannya. Odinga juga menginginkan adanya pembicaraan yang ditengahi pihak internasional guna mencapai suatu "kesepakatan peralihan" sebelum Pemilu baru dilakukan antara tiga hingga enam bulan ke depan. Kibaki pada Senin bertemu dengan enam uskup dari wilayah-wilayah yang paling parah terkena kerusuhan, yaitu Rift Valley guna mencari jalan untuk menghentikan kerusuhan. Pertengkaran mengenai hasil Pemilu telah menyebabkan unjuk rasa, kerusuhan dan anarki serta pengungsian di negara berpenduduk 36 juta jiwa itu, yang sebelumnya justru jadi tempat tujuan pengungsian warga Sudan dan Somalia. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008