Jakarta (ANTARA News) - Amir Nasional Jemaat Ahmadiyah Indonesia Abdul Basyit beserta sejumlah pengikutnya, Selasa, menemui Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) di Jakarta dan meminta organisasi kemasyarakatan Islam terbesar Indonesia itu mendesak pemerintah melindungi kelompoknya sebagaimana warga negara yang lain.Kedatangan rombongan Abdul Basyit yang ditemani Ketua Indonesian Conference On Religions and Peace (ICRP) Djohan Effendy dan anggota Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Ahmad Baso tersebut diterima langsung oleh Ketua Umum PBNU KH Hasyim Muzadi."Kami meminta bantuan Pak Hasyim dan PBNU agar pemerintah bisa bertindak tegas dan mau melindungi warga negaranya sebagai kewajiban konstitusi," kata Abdul Basyit dalam pertemuan yang digelar di ruang kerja Ketua Umum PBNU tersebut. Pada kesempatan itu Hasyim Muzadi meminta pengikut Ahmadiyah bisa membawa diri dalam situasi yang kurang menguntungkan saat ini. Pengasuh Pondok Pesantren Al Hikam, Malang, Jawa Timur, itu juga menyatakan siap dihubungi kelompok Ahmadiyah ketika mereka menemui persoalan. "Saya siap dihubungi setiap saat, tentunya sebelum ada kejadian, jangan setelah benjut (babak belur, red) baru menghubungi," kata Hasyim yang disambut senyum Abdul Basyit dan semua yang hadir dalam pertemuan tersebut. Hasyim menegaskan, dalam hal keyakinan ia tidak berbeda dengan kelompok yang tidak sepaham dengan Ahmadiyah. Kata Hasyim, "Saya mengerti mereka tidak setuju. Saya juga bisa setuju ketidaksetujuan mereka," katanya. Namun, Hasyim menyatakan sangat tidak setuju pada tindak kekerasan dan main hakim sendiri yang dilakukan kelompok yang tidak sepaham dengan Ahmadiyah. "Berbeda pendapat boleh, tapi tidak boleh bertindak sendiri. Persoalan aliran tidak akan dapat diselesaikan dengan kekerasan, tapi harus dengan pencerahan. Jadi, dalam hal ini pendekatan dakwah harus ditingkatkan, bukannya meningkatkan pertikaian" katanya. Dikatakannya, perbedaan tidak akan pernah selesai sehingga yang harus dibangun adalah bagaimana cara mengelola perbedaan sehingga tidak mengakibatkan konflik dan kekerasan dengan berdasar pada penghormatan terhadap hak individu dan hak warga negara. Masyarakat, katanya, harus bisa memilah kesalahan kelompok masyarakat lain. Jika kesalahannya menyangkut hukum dan konstitusi maka aparat negara yang harus bertindak. Namun jika kesalahan menyangkut persoalan agama, penanganan harus dilakukan tokoh agama dan aparat negara. "Tidak bisa jalan sendiri-sendiri. Karena itu saya mengimbau MUI (Majelis Ulama Indonesia) agar bisa bekerjasama dengan aparat negara dan lembaga Pakem (Pengawasan Agama dan Aliran Kepercayaan Masyarakat) jika hendak mengeluarkan fatwa yang bersinggungan dengan masyarakat dan aliran lain," katanya. Namun, Hasyim kembali menegaskan bahwa kekerasan terhadap pengikut Ahmadiyah kesalahannya tidak dapat ditimpakan pada MUI, karena fatwa pengharaman aliran Ahmadiyah sebenarnya fatwa lama. "Yang memicu kekerasan adalah demokrasi yang tidak terbatas," tandasnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008