Medan (ANTARA News) - Kasus hukum mantan Presiden Soeharto tak perlu dikesampingkan (dideponering) begitu saja, karena persidangannya dapat dilaksanakan secara "in absentia" atau tanpa dihadiri oleh Soeharto yang masih dalam keadaan sakit. "Kasus mantan orang pertama di republik ini tetap harus digelar di pengadilan, jangan sampai dihentikan, karena akan menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum," kata pakar hukum Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH kepada ANTARA di Medan, Senin. Hal itu dikemukakannya menanggapi permintaan DPP Partai Golkar yang secara resmi meminta pemerintah memberikan kepastian hukum atas mantan Presiden Soeharto, dengan cara mengesampingkan perkaranya (deponering). Menurut Runtung, dalam perkara atau proses hukum melibatkan Soeharto yang pernah berkuasa selama 32 tahun di negeri ini tidak ada istilah dihentikan atau diputihkan. "Kasus itu harus diajukan ke pengadilan dan biarlah pengadilan nanti yang akan menentukam bersalah atau tidaknya Soeharto. Seterusnya bisa saja pemerintah memberikan pengampunan kepada Soeharto yang dianggap berjasa pada bangsa dan negara. Pemerintah berwenang melakukan itu (memberi pengampunan, red)," ujarnya. Sementara itu, Ketua Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU), Habul Khair, SH, MHum menilai permintaan sejumlah pihak, termasuk parpol, kepada pemerintah agar kasus hukum Soeharto dihentikan sah-sah saja dan tidak ada masalah. Namun demikian, menurut dia, permintaan itu perlu dipertimbangkan baik dan buruknya. "Jangan diterima begitu saja tanpa memperhatikan dampaknya di kemudian hari. Kita juga harus dapat membedakan dari segi kepentingan politis dan hukum, bukan berarti kita mengenyampingkan jasa-jasa Soeharto pada bangsa dan negara ini," katanya. (*)
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2008