Cilacap (ANTARA News) - Tiga terpidana mati kasus Bom Bali I, Amrozi, Mukhlas, dan Imam Samudra, menolak salinan putusan Mahkamah Agung tentang penolakan Peninjauan Kembali (PK) kasus mereka yang diserahkan Pengadilan Negeri (PN) Denpasar melalui PN Cilacap pada Rabu (2/1). "Mereka menolak salinan putusan tersebut," kata Koordinator Tim Pembela Muslim (TPM), Achmad Michdan, di Cilacap seusai menemui tiga terpidana mati itu di Lembaga Pemasyarakatan Batu, Pulau Nusakambangan, Senin (7/1). Berkaitan dengan salinan putusan MA, Michdan mengatakan sudah mendapatkan penjelasan dari Pelaksana Harian Lapas Batu bahwa tim yang dipimpin Kepaniteraan PN Cilacap telah datang untuk menyampaikan tiga salinan putusan tersebut. Namun setelah diperiksa, kata dia, salinan putusan tersebut bukan salinan asli yang dilegalisasi, melainkan hanya foto kopi biasa sehingga tidak layak sebagai suatu dokumentasi hukum. "Yang ada hanya di bagian belakang, itu pun foto kopian biasa. Kesimpulannya, kami tidak bisa menerima juga kalau foto kopian seperti itu," kata dia menegaskan. Ia mengatakan, TPM telah membuat berita acara yang isinya meminta supaya diberikan salinan putusan yang resmi dan dapat dipertanggungjawabkan untuk diserahkan kepada kuasa hukum terpidana atau langsung kepada mereka dengan didampingi kuasa hukumnya. Menurut dia, tidak seharusnya salinan putusan yang diserahkan seperti itu, apalagi kasus tersebut diperhatikan internasional. "Kami menolaknya dan hal itu sangat tidak profesional dan tidak dipertangungjawabkan," katanya. Ia mengatakan, sudah menyiapkan surat-surat untuk disampaikan kepada Komisi Yudisial, Mahkamah Agung, maupun Pengadilan Negeri Denpasar. Menurut dia, ada juga surat yang ditujukan kepada Majelis Ulama Indonesia untuk meminta fatwa tentang pelaksanaan hukuman mati. Dia mengatakan, surat untuk MA tersebut mungkin dapat disebut sebagai PK kedua meskipun hal itu tidak ada. "Memang tidak ada PK kedua, tapi dalam praktiknya ada PK yang dua kali disidangkan, misalnya kasus Tibo," katanya. Menurut dia, kasus PK tersebut belum dijalankan melalui proses persidangan yang benar. Disinggung tentang batas waktu pengajuan grasi 30 hari setelah penyerahan salinan putusan tersebut, dia mengatakan tidak ada dalam undang-undang yang mengatur hal itu. Menurut dia, yang ada putusan itu harus disampaikan kepada tiga terpidana tersebut dalam tenggang waktu kurang dari 30 hari. "Dalam hal ini, putusan tertanggal 18 September 2007 seharusnya paling lambat diterima 18 Oktober 2007. Namun ternyata baru diserahkan 2 Januari 2008," katanya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008