Jakarta (ANTARA) - Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham) menghormati proses hukum yang dilakukan oleh KPK terhadap dua pejabat Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB).

KPK pada Selasa (28/5) malam telah menetapkan dua pejabat imigrasi NTB bersama satu orang lainnya sebagai tersangka kasus suap penanganan perkara penyalahgunaan izin tinggal di lingkungan Kantor Imigrasi Nusa Tenggara Barat (NTB) Tahun 2019.

"Pertama, kami tentu menghormati penegakan hukum yang dilakukan oleh KPK, kedua tindakan tidak terpuji seperti ini sudah beberapa kali terjadi dan itu kami akui," kata Irjen Kementerian Hukum dan HAM Jhoni Ginting saat jumpa pers di gedung KPK, Jakarta, Selasa (28/5) malam.

Lebih lanjut, ia menyatakan bahwa Menkumham Yasonna Laoly juga telah berulang kali mengingatkan kepada seluruh jajarannya untuk bekerja secara profesional dan berintegritas menjauhi tindakan yang menyalahgunakan kewenangan seperti yang terjadi di NTB.

"Ini sangat mengecewakan pimpinan Pak Laoly dan beliau juga memerintahkan Dirjen Imigrasi untuk melakukan langkah-langkah penguatan integritas kepada seluruh jajaran imigrasi agar bekerja secara profesional dan berintegritas," ucap Jhoni.

Dalam berbagai kesempatan, kata dia, Menkumham juga telah menyampaikan tidak akan memberikan toleransi bukan hanya terhadap yang melanggar hukum tetapi juga bagi yang melakukan indisipliner.

"Ini menjadi satu momentum bagi warga pengayom untuk instrospeksi ke depan agar jangan mengulangi lagi perbuatan yang tidak terpuji ini, sangat mencederai kredibilitas di Kementerian Hukum dan HAM yang sekarang sudah mulai memperbaiki pelayanan-pelayanan," tuturnya.

Untuk diketahui sebagai penerima dalam kasus itu, yaitu Kepala Kantor Imigrasi Klas I Mataram Kurniadie (KUR) dan Kepala Seksi Intelejen dan Penindakan Kantor Imigrasi Klas I Mataram Yusriansyah Fazrin (YRI).

Sedangkan sebagai pemberi, yaitu Direkur PT Wisata Bahagia atau pengelola Wyndham Sundancer Lombok Liliana Hidayat (LIL).

Dalam konstruksi perkara kasus itu, dijelaskan bahwa Penyidik PNS (PPNS) di Kantor Imigrasi Klas I Mataram mengamankan dua WNA dengan inisial BGW dan MK yang diduga menyalahgunakan izin tinggal.

"Mereka diduga masuk menggunakan visa sebagai turis biasa tetapi ternyata diduga bekerja di Wyndham Sundancer Lombok. PPNS lmigrasi setempat menduga dua WNA ini melanggar Pasal 122 huruf a Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2011 tentang Keimigrasian," ungkap Wakil Ketua KPK Alexander Marwata saat jumpa pers.

Merespons penangkapan tersebut, lanjut Alex, Liliana perwakilan Manajemen Wyndham Sundancer Lombok diduga mencoba mencari cara melakukan negosiasi dengan PPNS Kantor lmigrasi Klas I Mataram agar proses hukum dua WNA tersebut tidak berlanjut.

"Kantor Imigrasi Klas I Mataram telah menerbitkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan untuk dua WNA tersebut tanggal 22 Mei 2019. YRI kemudian menghubungi LIL untuk mengambil SPDP tersebut," kata Alex.

Permintaan pengambilan SPDP itu diduga sebagai kode untuk menaikkan harga untuk menghentikan kasus.

"LIL kemudian menawarkan uang sebesar Rp300 juta untuk menghentikan kasus tarsebut, namun YRI menolak karena jumlahnya sedikit. Dalam proses komunikasi terkait biaya mengurus perkara tersebut YIR berkoordinasi dengan atasannya KUR. Selanjutnya, diduga terjadi pertemuan antara YRI dan LIL untuk kembali membahas negosiasi harga," tuturnya.

Dalam OTT itu, KPK mengungkap modus baru yang digunakan Yusriansyah, Liliana, dan Kurniadie dalam negosiasi uang suap, yaitu menuliskan tawaran Liliana di atas kertas dengan kode tertentu tanpa berbicara dan kemudian Yusriansyah melaporkan pada Kurniadie untuk mendapat arahan atau persetujuan.

"Akhirnya disepakati jummlah uang untuk mengurus perkara dua WNA tersebut adalah Rp1,2 miliar," kata Alex.***2***

Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2019