Jakarta (ANTARA News) - Jaksa Agung Hendarman Supandji menegaskan bahwa kasus pidana mantan Presiden Soeharto sudah ditutup sejak dikeluarkannya Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan Perkara (SKP3) tertanggal 12 Mei 2006. "Kasus Soeharto, berdasarkan pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) ditutup demi hukum," kata Jaksa Agung di Jakarta, Senin. Dijelaskannya, berdasarkan pasal 140 ayat 2 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), suatu perkara bisa ditutup demi hukum apabila terdakwa meninggal dunia, kasusnya kadaluarsa, sakit permanen dan tidak dilengkapi dengan alat bukti. "Karena sakit permanen maka kasus Soeharto ditutup demi hukum sesuai pasal 140 ayat 2 KUHAP tersebut," katanya. Ketika ditanya apakah kasus Soeharto tidak "dideponeering" (mengesampingkan perkaranya), Jaksa Agung menjelaskan bahwa perkara Soeharto ini bukan Deponeering. "Memang Jaksa Agung mempunyai kewenangan untuk mendeponeering suatu perkara demi kepentingan umum. Tetapi dalam kasus Soeharto cukup dengan SKP3," ungkapnya. Selanjutnya, ketika ditanya apakah ada pengampunan terhadap mantan presiden itu, Hendarman mengatakan pengampunan adalah hak prerogatif presiden seperti dalam bentuk amnesti, rehabilitasi, abolisi maupun grasi. Pengampunan itu sendiri, lanjut dia, dapat diberikan kalau sudah mempunyai keputusan hukum tetap. "Bila sudah diputus pengadilan, maka yang bersangkutan bisa minta pengampunan presiden," paparnya. Hendarman menambahkan bahwa yang dilakukan kejaksaan agung adalah tetap melakukan gugatan perdata terhadap mantan penguasa orde baru itu melalui Yayasan Supersemar. Ketika didesak lagi apakah kejaksaan agung akan memberikan maaf dan ampun kepada Soeharto, ia menjawab "Kejaksaan Agung bukan lembaga "pemaaf". Kejaksaan adalah sebagai lembaga penegak hukum. Soal ampun, hal itu bisa dilakukan kalau ada perbuatan pidananya yang terbukti dengan putusan pengadilan," tegasnya.(*)

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008