Jakarta (ANTARA News) - Apa yang dulu dipandang sebagai solusi buat masalah emisi gas CO2, yakni kemampuan pohon menyerap karbondioksida hasil aktifitas manusia (CO2 antropogenik), kini mulai diragukan "keampuhannya" karena fenomena pemanasan global tetap saja terjadi.
Sebuah penelitian selama 20 tahun yang menganalisa 30 titik di Kutup Utara mendapati bahwa kemampuan pohon menyerap karbon dioksida (CO2) terus menurun, padahal saat ini berkembang kampanye yang menyebutkan bahwa dengan menanam banyak pohon, maka laju perubahan iklim bisa ditekan.
Gas karbon dioksida yang ditimbulkan oleh aktifitas manusia biasanya diserap oleh pohon dan laut, untuk kemudian dilepaskan pada masa yang akan datang. Tapi ini bukanlah akhir dari siklus karbon.
Seperti dikutip dari laman jejaring warta lingkungan hidup www.enn.com, Senin, pohon melepaskan simpanan CO2-nya saat ia membusuk atau terurai. Hal ini kemudian memunculkan siklus karbon.
Temperatur yang semakin tinggi akibat perubahan iklim tidak hanya meningkatkan laju pertumbuhan pohon dan tanaman di seluruh dunia, tetapi juga memicu emisi CO2 yang berlebihan.
Pohon kemudian berubah peran dari penyerap CO2 menjadi produsen gas karbon lewat proses penguraian yang lazim terjadi pada musim-musim akhir pertumbuhannya.
Bukti terbaru yang dikumpulkan dari seluruh dunia menunjukkan bahwa awal musim dingin terjadi mundur dari biasanya, sementara musim panas datang lebih awal.
Di Bumi belahan Utara, temperatur pada musim semi dan musim gugur naik sekitar 1,1 dan 0,8 derajat Celsius dalam kurun waktu sekitar 2 dekade terakhir.
Ini artinya musim pertumbuhan pohon semakin lama, dan para ahli menduga hal tersebut sebagai hal yang bagus buat menekan laju perubahan iklim.
Bahkan pertambahan pohon di muka Bumi bisa terlihat dari luar angkasa, citra satelit menunjukkan bahwa luasan hijau semakin besar di permukaan Bumi dari masa sebelumnya.
Namun demikian, data terbaru menunjukkan bahwa pola berpikir seperti terlalu menyederhanakan masalah.
Sekitar 30 titik pengamatan yang tersebar di Siberia, Alaska, Kanada, dan Eropa diteliti kadar CO2 di lapisan atmosfernya. Yang dikaji bukan cuma CO2 saat proses fotosintesis tapi juga CO2 yang dilepaskan pohon dan mikroba selama proses respirasi.
Tim peneliti pun memusatkan penelitiannya pada musim gugur, masa ketika hutan berubah peran dari penyimpan karbon menjadi produsen karbon.
Dan ternyata, periode mengurainya pohon datang lebih awal dalam satu tahun, di beberapa tempat menunjukkan awal periode terjadi beberapa hari lebih cepat sementara di tempat lain beberapa pekan lebih cepat dari biasa.
Temuan ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya yang menunjukkan bahwa jumlah CO2 di atmosfer bertambah lebih cepat dari perkiraan awal - dengan kata lain laju perubahan iklim akan terus meningkat pada masa mendatang.
Menurut Panel Antarpememerintah tentang Perubahan Iklim (IPCC), manusia hanya punya waktu 8 tahun untuk mencegah datangnya efek terburuk dari perubahan iklim.
Namun waktu dan bukti-bukti ilmiah haruslah dijadikan umat manusia sebagai panduan untuk bertindak, dan tidak ada kata lain solusinya adalah menurunkan emisi gas rumah kaca, menurunkan emisi CO2. (*)
Copyright © ANTARA 2008