Lamongan (ANTARA News) - Keluarga terpidana mati kasus bom Bali 12 Oktober 2002, Amrozi dan Ali Ghufron, di Desa Tenggulun, Kecamatan Solokuro, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur (Jatim), menolak salinan surat penolakan Mahkamah Agung (MA) atas Peninjauan Kembali (PK) kedua terpidana. Salinan surat penolakan PK dari MA itu diserahkan tim Kejaksaan Negeri (Kejari) Denpasar selaku eksekutor ke rumah Ustadz Ja`far Shodiq sebagai kakak tertua AMrozi yang ada di Lamongan, Jumat. Namun, tim Kejari Denpasar yang didampingi tim Kejari Lamongan itu tidak membuahkan hasil, karena Ustadz Ja`far Shodiq menolak untuk menerima surat salinan penolakan PK untuk adiknya itu. "Mereka sempat menggelar surat-surat di meja, tapi saya 'nggak' menerimanya, karena saya merasa bukan orang yang berhak, mengingat masih ada isteri adik saya itu atau anaknya, sedangkan saya itu urutan nomor sekian," katanya. Saran Ustadz Ja`far Shodiq yang mewakili Ustadz Khozin (kakak tertua Amrozi dan Ali Gufron), yang hingga kini masih menunaikan ibadah haji, agaknya tak membuahkan hasil, karena Susiana (isteri Amrozy) dan Paridah (istri Ali Gufron) juga tidak ada di rumahnya. Ketiga terpidana mati dalam kasus bom Bali 2002, yakni Amrozi bin Nurhasyim, Ali Ghufron dan Imam Samudera, saat ini masih mendekam di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Nusakambangan, Kabupaten Cilacap, Jawa Tengah, untuk menunggu pelaksanaan eksekusi. Sesuai ketentuan hukum sebelum eksekusi hukuman mati dilakukan, terpidana dan keluarganya masih mempunyai hak untuk mengajukan grasi dan memohon ampunan kepada Presiden selama 30 hari ke depan. Menanggapi penyerahan salinan surat penolakan PK itu, anggota kuasa hukum Amrozi dari Tim Pembela Muslim (TPM), Fahmi H. Bachmid, mengaku bingung atas sikap MA yang memaksakan PK dan grasi. "Kalau mau adil dan setara itu seharusnya terpidana mati dalam kasus narkoba lebih harus didahulukan, karena mereka sudah lama antre, apalagi sidang PK tidak pernah ada, tapi tiba-tiba sudah ada putusan," katanya kepada ANTARA News per telepon. Oleh karena itu, katanya, TPM akan melapor ke Komisi Yudisial (KY), karena putusan PK dilakukan tanpa sidang PK, kemudian grasi juga dipaksakan kepada terpidana."Ada apa kok dipaksakan. Apa ada pesanan?," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2008