Surabaya (ANTARA News) - Musibah banjir besar yang melanda sejumlah daerah di Indonesia beberapa waktu terakhir, seharusnya bisa diantisipasi sejak dini jika fungsi pemerintahan berjalan dengan baik. Pernyataan itu dikemukakan pengamat hukum lingkungan dari Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Dr Suparto Wijoyo kepada ANTARA News di Surabaya, Jumat malam. "Boleh dibilang, sekarang ini fungsi pemerintahan sedang `mandek` (berhenti, red). Kalau pemerintahan itu jalan, mestinya tidak sampai terjadi banjir besar seperti sekarang," katanya. Staf Ahli Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) itu menyebut, musibah atau bencana yang terjadi di Indonesia sebenarnya diminta dan menjadi semacam proyek. Hal itu terkait dengan disahkannya UU Bencana oleh DPR beberapa waktu lalu, meski banyak mendapat protes dari berbagai kalangan. "Bencana kok dibikin undang-undang, kan sama artinya kita terus berharap ada bencana. Itu paradigma yang keliru karena seharusnya yang perlu dibuat itu UU soal kelestarian lingkungan atau lainnya," ujar Suparto. Terkait soal banjir, Suparto mengatakan kalau sebenarnya sudah ada prediksi atau peringatan bahwa musim hujan kali ini akan jauh lebih tinggi dibanding sebelumnya. Peringatan itu seharusnya menjadi acuan bagi pemerintah pusat atau daerah dan juga instansi atau lembaga terkait untuk melakukan langkah antisipasi. "Misalnya bikin sudetan dan penguatan tanggul di Bengawan Solo dan sungai lain, atau melakukan pengerukan waduk Gajah Mungkur dan waduk lainnya yang mengalami sedimentasi. Tapi ini sama sekali diabaikan dan akhirnya banjir besar muncul," tambahnya. "Perum Jasa Tirta, Dinas Pengairan, Dinas kehutanan, dan instansi lain, sepertinya tidur dan tidak melakukan tindakan apa-apa. Setelah ada musibah, semua saling menyalahkan," ujarnya. Suparto menolak anggapan kalau bengawan Solo atau Waduk Gajah Mungkur tidak mampu menampung limpahan air hujan yang debitnya naik. "Debit air hujan itu sebenarnya dari dulu sama. Semua itu terjadi karena kondisi hutan kita yang sudah gundul dan tidak mampu menyerap air, sehingga air hujan langsung menuju sungai," jelas staf ahli DPRD Jatim ini. Menyinggung soal kerusakan hutan, Suparto menyebutkan sekitar 750 ribu dari 1,35 juta hektar hutan di Jatim dalam kondisi rusak. Sementara 400 ribu hektar lahan lainnya dalam kondisi kritis. Karena itu, sebagian besar daerah di Jatim masuk kategori rawan bencana, baik banjir maupun tanah longsor. "Saya hanya menghimbau pemda untuk melakukan antisipasi, seperti memperkuat tanggul-tanggul sungai, membuat kanalisasi, penyudetan dan lainnya. Memang sudah terlambat, tapi kedepan hal itu akan ada manfaatnya," kata Suparto.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2008