Jakarta (ANTARA News) - Bila anda memperhatikan perjalanan pagi dari arah Kebon Jeruk ke Tanah Abang, hampir selalu ada motor yang membawa baju bordiran berbungus plastik per potong yang tersusun rapi di boncengan. Bukan hanya baju namun celana panjang, pakaian tidur, dan kerudung bermanik-manik.
Dari arah sebaliknya, bila sore hari tiba, sering ada motor yang membawa gulungan kain atau kain batik, ke arah Kebon Jeruk Raya.
Rupanya ada banyak usaha rumahan bergerak di bidang konfeksi di sekitar Kebon Jeruk Raya.
Ibu-ibu teman sekolah anak saya juga banyak yang mengerjakan “payetan” di waktu senggangnya. Payetan adalah istilah untuk menyebut seni merangkai benda berbentuk butiran yang diberi lubang, biasanya disusun berbentuk pola tertentu di atas sehelai kain. Semakin rumit dan besar payetan, makin menambah harga jualnya.
Biasanya ibu-ibu mengambil satu kodi kerudung beserta bahan baku berupa manik-manik dari pemilik konfeksi, mengerjakan di rumah sesuai pola dan pesanan untuk kemudian ditukar dengan uang sekitar Rp12.000 hingga Rp20.000 per kodi, tergantung banyak sedikitnya payetan, tingkat kesulitan dan kualitas bahan. Untuk yang sudah trampil, bisa menyelesaikan satu kodi per hari.
Kaum ibu dan remaja putri merasa senang dengan pekerjaannya karena bisa menghasilkan uang tanpa mengorbankan waktu di luar rumah. Mereka bisa mengerjakan pekerjaan itu sambil menunggu anaknya sekolah, sambil menunggu cucian kering atau melakukan aktifitas rumah tangga yang lain, meski upah yang didapat tidak bisa dikatakan besar.
Tidak bisa dipungkiri bahwa industri konfeksi adalah industri padat karya. Dan semua pasti sefaham bahwa melimpahnya tenaga kerja lepas adalah keunggulan tersendiri bagi perusahaan. Namun yang saya tahu, ternyata kaum ibu itu hanya pekerja lepas, bukan anggota koperasi. Dan belum ada data yang mendukung apakah pemilik-pemilik konfeksi itu adalah anggota koperasi. Di situs Kementerian Negara Koperasi dan UKM memang cuma ada beberapa buah UKM fashion, garment, embroidery dan pashmina di Kebon Jeruk.
Mungkin perlu studi yang lebih mendalam untuk memperoleh gambaran tentang seberapa besar kesadaran ibu rumah tangga untuk bergabung membentuk koperasi. Dan mungkin perlu pula publikasi hasil-hasil penelitian yang pernah ada tentang bagaimana persepsi masyarakat melihat koperasi “sebagai peluang untuk meningkatkan pendapatan.”
Definisi Koperasi
Koperasi, seperti yang lazim kita diketahui, memiliki tujuannya yang mulia yakni untuk mensejahterakan anggotanya. Mengutip Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) no 27 Revisi 1998, disebutkan bahwa karakteristik utama koperasi yang membedakannya dengan badan usaha lain adalah, anggota koperasi memiliki identitas ganda, sebagai pemilik sekaligus pengguna jasa koperasi.
Umumnya koperasi dikendalikan secara bersama oleh seluruh anggotanya, di mana setiap anggota memiliki hak suara yang sama dalam setiap keputusan yang diambil. Pembagian keuntungan -- disebut Sisa Hasil Usaha atau SHU-- biasanya dihitung berdasarkan andil anggota. Sebagai misal pembagian dividen berdasarkan besar pembelian atau penjualan yang dilakukan oleh si anggota.
Menurut Undang-Undang Nomor 25 Perkoperasian, pengelompokan koperasi secara umum ada tiga yakni koperasi konsumen, produsen dan koperasi kredit (jasa keuangan). Namun koperasi dapat pula dikelompokkan berdasarkan sektor usahanya. Dalam hal ini koperasi dapat dibagi menjadi 5 jenis yakni Koperasi Simpan Pinjam, Koperasi Konsumen, Koperasi Produsen, Koperasi Pemasaran dan Koperasi Jasa
Koperasi Simpan Pinjam sesuai dengan namanya adalah koperasi yang bergerak di bidang usaha simpanan dan pinjaman. Koperasi Konsumen adalah koperasi yang beranggotakan para konsumen dengan menjalankan kegiatan jual beli, menjual barang konsumsi.
Definisi Koperasi Pemasaran adalah koperasi yang melakukan kegiatan penjualan produk/jasa koperasinya atau anggotanya. Sedangkan Koperasi Jasa, adalah koperasi yang bergerak di bidang usaha jasa lainnya.
Selanjutnya adalah Koperasi Produsen, koperasi yang beranggotakan para pengusaha kecil (UKM = Usaha Kecil Menengah) dengan menjalankan kegiatan pengadaan bahan baku dan penolong untuk anggotanya.
UKM
Seberapa besar peran UKM membuka lapangan kerja sebagai upaya mengentaskan kemiskinan? Rupanya masih menjadi pekerjaan rumah pemerintah untuk membuktikan peran koperasi dalam memberi kontribusi mereduksi angka kemiskinan.
Sebenarnya program-program pemberdayaan Usaha Skala Mikro sudah tersusun rapi di Rencana Kerja Jangka Menengah Menteri Negara Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Menegkop & UKM). Bahkan program pemberdayaan Usaha Skala Mikro adalah satu dari lima program Menegkop & UKM yang tercantum dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Periode tahun 2004-2009.
Di situs http://www.depkop.go.id tertulis bahwa “Tujuan program Pemberdayaan Usaha Skala Mikro ini adalah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang bergerak dalam kegiatan usaha ekonomi di sektor informal yang berskala usaha mikro, terutama yang masih berstatus keluarga miskin dalam rangka memperoleh pendapatan yang tetap, melalui upaya peningkatan kapasitas usaha sehingga menjadi unit usaha yang lebih mandiri, berkelanjutan dan siap untuk tumbuh dan bersaing. Program ini akan memfasilitasi peningkatan kapasitas usaha mikro dan keterampilan pengelolaan usaha serta sekaligus mendorong adanya kepastian, perlindungan dan pembinaan usaha.”
Jadi jelaslah bahwa UKM memang diharapkan berdiri di garda depan program pengetasan kemiskinan. UKM seharusnya mampu menyerap banyak tenaga kerja, yang pada gilirannya sanggup mengentaskan kemiskinan anggotanya. Dan memang kita sadar bahwa jumlah orang miskin makin membengkak tiap tahunnya.
Menurut data versi Bank Dunia, yang menggunakan indikator kemiskinan moderat, yaitu pendapatan kurang dari dua dolar AS per hari, maka penduduk miskin Indonesia mencapai 49 persen atau separuh total jumlah penduduk (sekitar sekitar 108,7 juta orang )
Sementara Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2007 sebesar 37,17 juta jiwa atau turun 2,13 juta (5,4 persen) dibanding kondisi pada Maret 2006 sebesar 39,30 juta.
Perbedaan angka tersebut dikarenakan parameter yang digunakan berbeda, masing-masing memiliki alasan yang dapat diterima. Namun semuanya berbicara masalah jumlah orang miskin yang tidak bisa dikatakan kecil jumlahnya.
Dalam laporan BPS dan Kementerian Koperasi dan UKM yang dirilis 16 September 2005, tentang perkembangan indikator makro UKM tahun 2005 disebutkan bahwa, “Seiring dengan semakin meningkatnya perekonomian Indonesia tahun 2004, sumbangan Usaha Kecil Menengah semakin jelas pangsanya terhadap penciptaan nilai tambah nasional, karena lebih dari separuhnya diciptakan oleh UKM (55,88 persen) sekaligus mampu menyerap tenaga kerja yang cukup besar sehingga dapat menekan tingkat pengangguran”.
Pada bagian selanjutnya disebutkan bahwa jumlah unit usaha UKM tahun 2004 sebesar 43,22 juta naik 1,61 persen terhadap tahun sebelumnya, sementara jumlah tenaga kerja yang bekerja di sektor UKM pada tahun yang sama sebesar 79,06 juta pekerja yang ternyata lebih rendah 337.332 pekerja dibandingkan tahun 2003 sebanyak 79,40 juta pekerja.
Data-data diatas hanyalah angka-angka yang masih perlu dikaji dan masih perlu tindakan nyata untuk benar-benar mewujudkan peran UKM membuka lapangan kerja.
Penyerapan Tenaga Kerja
Namun kita patut bersyukur dan tetap berharap bahwa UKM mampu menyerap tenaga kerja. UKM haruslah mendapat prioritas dan perhatian penentu kebijakan. Dan yang lebih penting kontrol sosial dari kalangan akademisi maupun politisi terhadap program-program pemerintah harus diperhatikan, agar sasaran tercapai dengan efisien dan efektif serta jauh dari aroma korupsi, kolusi dan nepotisme.
Kiranya kritik dari sejumlah pengamat perkoperasian harus kita cermati, bahwa fungsi utama Kementerian Negara Koperasi dan UKM harusnya mampu memfasilitasi tiga hal. Pertama harus mampu memfasilitasi kiprah koperasi dan UKM dari sisi managemen. Kedua berkomitmen membantu koperasi dan UKM untuk mengakses permodalan dan yang ketiga harus mampu menjembatani para pelaku ekonomi sektor riil untuk memasarkan produk mereka.
Sangat diharapkan optimalisasi kinerja kementerian termasuk penyederhanaan struktur birokrasi, sehingga program mulia penciptaan 6 juta pelaku wirausaha baru dan pembentukan 70 ribu koperasi sehat akan segera terwujud.
Melihat Koperasi Tetangga
Mungkin kita patut melihat perkembangan koperasi di negeri Gajah Putih, Thailand. Menurut data yang kami peroleh, Thailand membentuk Departemen Promosi Koperasi yang memiliki visi mempromosikan dan mengembangkan koperasi atau kelompok-kelompok petani dengan tujuan agar mereka mencapai ketahanan dan kemandirian.
Seluruh kebijakan diarahkan untuk meningkatkan kualitas kehidupan anggotanya. Mereka menjabarkan tanggungjawab operasionalnya dengan mempopulerkan idiologi dan prinsip-prinsip koperasi. Sementara dari segi kelembagaan pemerintah mendukung peningkatan proses pembelajaran, peningkatan kapasitas bisnis yang bermuara pada efisiensi operasional.
Dan yang lebih penting adalah mendorong penguatan jaringan bisnis koperasi pada tingkat internasional. Namun secara konsepsional, setiap praktek bisnis harus sesuai dengan undang-undang dan ketentuan yang berlaku. (Disini pemerintah memfasilitasi setiap kajian dan penelitian yang dibutuhkan).
Thailand terkenal dengan produk-produk pertaniannya. Rupanya pemerintahnya mendorong penguatan di sisi hulu dengan langkah-langkah sebagai berikut: Pertama peningkatan kapasitas produksi berstandar mutu tinggi. Kedua departemen koperasi melakukan pendampingan penanganan standar manajemen pasca panen untuk menambah nilai dari proses produksi. Yang ketiga pemerintah terlibat dalam merehabilitasi pengelolaan administrasi dan mengefisienkan peran kelompok tani.
Kegiatan tersebut mempermudah tugas pemerintah mengklasifikasi koperasi yang sehat yang perlu dikembangkan secara berkesinambungan. Dari klasifikasi yang bagus maka Thailand dapat merumuskan database koperasi maupun kelompok-kelompok tani.
Thailand senantiasa mendorong pendirian jaringan di antara koperasi dan petani. Yang tak kalah penting, adalah dukungan pemberian suku bunga rendah, khusus bagi koperasi dengan kelompok-kelompok tani yang aktif.
Itu semua adalah gambaran sekilas kondisi perkoperasian di negara tetangga. Masih banyak referensi keberhasilan koperasi di berbagai belahan dunia. Koperasi kita, harus berbenah diri agar benar-benar mampu menjadi soko guru perekonomian bangsa. Semoga kita bangsa Indonesia bisa menemukan formula yang pas untuk kemajuan perkoperasian di tanah air.
Sebagai penutup, kemajuan koperasi juga adalah tangungjawab kita semua, komponen bangsa, peran serta masyarakat, media dan lembaga swadaya masyarakat mutlak dibutuhkan.
Semoga lapangan kerja kian terbuka, kesempatan berkarya senantiasa ada dengan dukungan penuh pemerintah Indoenesia.
Tulisan ini memenangi juara 2 "Lomba Karya Tulis Perkoperasian 2007" yang diselenggarakan oleh Dewan Koperasi Indonesia (Dekopin).Oleh Oleh Dyah Sulistyorini
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008