Menurut saya, dasar hukumnya kurang kuat....

Jakarta (ANTARA) - Keberadaan Undang-undang (UU) no 20 tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) dinilai menjadi pintu masuk bagi Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) untuk mengawasi kemitraan inti-plasma yang terjadi di perkebunan kelapa sawit.

Namun demikian, Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (USU) Prof Dr Ningrum Natasya Sirait SH, Mli di Jakarta, Senin mengatakan dasar hukum yang digunakan oleh KPPU untuk melakukan pengawasan kemitraan inti-plasma di perkebunan kelapa sawit ini sangat lemah.

"Menurut saya, dasar hukumnya kurang kuat karena di Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tidak dibunyikan. Dan di Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 pun itu munculnya di PP Nomor 17 Tahun 2013 karena ada kata-kata persaingan usaha," katanya dalam keterangan tertulis.

Menurut Ningrum, dasar hukum KPPU bisa melakukan pengawasan adalah Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam undang-undang itu, kata dia, memerintahkan KPPU untuk mengawasi persaingan usaha antara pelaku usaha dengan pelaku usaha atau antara business to business, namun tidak diatur sama sekali soal kemitraan.

Soal kemitraan ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, namun di dalamnya tidak menyebutkan adanya lembaga pengawas. Lembaga pengawas dinyatakan secara eksplisit dalam PP 17 Tahun 2013 yang merupakan aturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008.

Menurut Ningrum, dalam UU No 20 Tahun 2008 ada kata tentang persaingan. Kata persaingan ini ditafsirkan dalam PP No 17 Tahun 2013 yang berwenang mengawasi adalah KPPU. Jadi karena ada kata persaingan, maka ditafsirkan bahwa soal pengawasan persaingan dan pengawasan kemitraan itu menjadi kewenangan KPPU.

Tidak sampai di situ, bahkan dalam PP tersebut juga memberikan kewenangan KPPU untuk mengatur, memaknai pengawasan kemitraan itu melalui peraturan komisi KPPU. Menurut Ningrum, KPPU tidak diberikan kewenangan membentuk peraturan. Dalam pasal 35 huruf F UU No 5/1999, KPPU hanya diberikan kewenangan membuat pedoman dan publikasi.

Oleh karena itu Ningrum menegaskan KPPU tidak berwenang melakukan pengawasan terhadap praktik kemitraan di sektor manapun, termasuk di antaranya kemitraan di perkebunan kelapa sawit. Menurut dia, KPPU hanya bisa melakukan pengawasan terhadap persaingan usaha yang dilakukan antara pelaku usaha dengan pelaku usaha.

"Tetapi kalau KPPU masuk ke ranah kemitraan, sementara dalam UU No 5/1999 tidak ada satu pasalpun yang mengatur soal itu (kemitraan), lantas apa dasar hukumnya?" katanya.

Selama ini KPPU menyatakan PP No 17 Tahun 2013 sebagai dasar hukumnya. “Namun, kalau kita mau buat hierarki dalam perundang-undangan, siapa yang lebih tinggi, PP atau undang-undang?,” ujarnya.

Ningrum sangat tidak setuju apabila KPPU mengawasi kemitraan selayaknya dengan memberikan sanksi sebagaimana terjadi pada kasus yang sifatnya persaingan usaha yang dilakukan business to business.

Seperti diketahui publik, KPPU akan merambah pengawasan pada praktik pola kemitraan antara perusahaan perkebunan kelapa sawit dan petani plasma. Dasar yang digunakan adalah PP 17 Tahun 2013 yang merupakan aturan pelaksanaan UU No 20 Tahun 2008.

Beri manfaat
Terkait dengan kemitraan inti-plasma di perkebunan kelapa sawit ini, Ketua Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perkebunan Inti Rakyat (ASPEKPIR) Provinsi Riau Setiyono mengatakan bahwa secara umum kerja sama antara petani dan perusahaan banyak memberikan manfaat kepada petani. Selain menularkan ilmunya, perusahaan pula yang menampung tandan buah segar (TBS) hasil produksi tanaman petani.

"Kerja sama kemitraan antara petani dan perusahaan ini sangat baik sekali dilaksanakan. Saya menganjurkan bagi petani untuk tidak keluar dari kerja sama sehingga kita tetap terlindungi,” kata Setiyono. Diakuinya, memang terkadang ada gesekan antara petani dan perusahaan, namun hal tersebut masih dapat diatasi dengan musyawarah bersama.

Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Mukti Sardjono menambahkan dalam kemitraan pola inti plasma, tidak ada dominasi perusahaan inti dalam penentuan harga.

"Karena penentuan harga TBS sudah diatur oleh masing-masing pemerintah daerah/gubernur berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian tentang Penetapan Harga TBS,” kata mantan Sesditjen Perkebunan Kementerian Pertanian itu.

Pewarta: Subagyo
Editor: Risbiani Fardaniah
Copyright © ANTARA 2019