Jakarta (ANTARA News) - Majelis Hakim pengadilan tindak pidana korupsi menolak eksepsi terdakwa kasus korupsi pengadaan tanah Komisi Yudisial, Irawady Joenoes, dalam persidangan yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jumat.
Majelis Hakim yang diketuai oleh Masrurdin Chaniago menilai sejumlah materi yang disampaikan dalam eksepsi Irawady sudah memasuki pokok perkara, sehingga bukan lagi merupakan materi eksepsi.
"Karena sudah memasuki pokok perkara maka bukanlah materi eksepsi. Maka Majelis memutuskan menolak eksepsi terdakwa dan penasehat hukumnya," kata Masrurdin Chaniago saat membacakan putusan sela.
Selain itu Majelis menyatakan menerima surat dakwaan JPU sebagai dasar pemeriksaan perkara dan melanjutkan persidangan.
Dalam eksepsinya, terdakwa dan penasihat hukumnya menyatakan bukanlah pihak yang bermaksud untuk meminta sejumlah uang, tetapi justru Irawady yang ingin membongkar adanya praktek suap.
Majelis Hakim akan melanjutkan persidangan pada Rabu (9/1) dengan agenda menghadirkan serta mendengarkan keterangan dua saksi, salah satunya sekretaris Irawady, Bratanata.
Komisioner non aktif Komisi Yudisial Irawady Joenoes diancam hukuman 20 tahun penjara atas dakwaan menerima suap terkait pembelian tanah untuk kantor komisi tersebut.
Jaksa Penuntut Umum (JPU)pada Komisi Pemberantasan Korupsi dalam dakwaan menyatakan terdakwa telah menerima hadiah sebesar Rp600 juta dan 30.000 dolar AS dari pemilik tanah Fredy Santoso.
"Terdakwa mengarahkan dan menyetujui agar tanah milik saksi Fredy Santoso di Jalan Kramat Raya nomor 57 dibeli oleh Komisi Yudisial," kata JPU Rudi Margono saat membacakan surat dakwaan setebal 14 halaman.
JPU menjelaskan pada tahun anggaran 2007 Komisi Yudisial melakukan kegiatan pengadaan tanah untuk membangun kantor KY dan kemudian Freddy Santoso menawarkan tanahnya, padahal sedang dijaminkan ke bank.
"Secara lisan sebetulnya terdakwa dalam sidang pleno 4 Juli 2007 sebetulnya sudah menolak dengan alasan kawasan itu tidak aman," kata JPU.
Setelah mengetahui tanahnya ditolak, Freddy kemudian berusaha menemui terdakwa di kantor KY namun tidak berhasil dan mencoba menghubungi MS Bratanata staf Irawady.
"Saat membujuk Branatata agar bisa bertemu dengan terdakwa, Freddy menawarkan sanggup memberi uang sampai Rp8 miliar," ujar Rudi Margono.
JPU menambahkan, pada pleno 23 Agustus 2007, terdakwa yang semula menolak pembelian tanah, kemudian mengarahkan KY agar menyetujui pembelian tanah milik Freddy di Jalan Kramat Raya nomor 57 dengan memberika memo kepada Sekjen KY.
"Dalam memo itu tertulis; kalau tidak ada lagi, mengingat waktu 1.syarat-syarat lengkap 2.luasnya luar biasa 3.harganya NJOP apa boleh buat, kita harus ingat KY kita tinggal tiga tahun lagi, proyek itu pasti dua tahunan," kata Rudi mengutip memo Irawady.
Setelah adanya memo tersebut dan persetujuan tertulis dari terdakwa, masih menurut JPU, maka rapat pleno KY menyetujui pembelian tanah tersebut.
"Bahwa selanjutnya pada 26 September 2007 disebuah rumah di Jalan Panglima Polim III nomor 138 Jaksel, terdakwa telah menerima uang sejumlah Rp600 juta dan 30.000 dolar AS yang diserahkan oleh Freddy Santoso dibungkus dalam tas kertas warna merah," kata JPU lainnya Firdaus.
Atas perbuatannya itu Irawady dinilai melanggar hukum sesuai pasal 12 huruf b UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi dalam dakwaan primair dengan ancaman penjara 20 tahun.
Sementara dalam dakwaan subsidair, Irawady dinilai melanggar hukum sesuai pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2008