Paris (ANTARA News) - Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) menghadapi tekanan serius untuk membantu menenangkan pasar minyak mentah yang bergejolak, dalam pertemuan mereka mendatang Februari, setelah harga minyak menyentuh level psikologis 100 dolar AS, ungkap para analis, Jumat. "Itu (rekor 100 dolar AS per barel) akan menjadi pemicu psikologis bagi negara-negara konsumen," kata analis komoditi pada bank investasi Societe Generale, Frederic Lasserre. "Kita akan melihat banyak negara memberi tekanan pada OPEC, dengan mengatakan 'kami ingin Anda melakukan sesuatu bagi kami'. Tetapi pada akhirnya mereka mungkin akan sepakat penambahan beberapa barel saja tidak akan mengubah pasar." 13 anggota OPEC mengabaikan permintaan itu pada pertemuan terakhir mereka Desember lalu, meskipun ada permintaan dari Menteri Energi AS Samuel Bodman untuk meningkatkan produksi. Kartel yang dipimpin Arab Saudi itu menguasai 40 persen pasokan minyak di dunia, namun membatasi produksi anggota-anggotanya dengan sistem kuota yang dikaji ulang pada setiap pertemuan reguler. Analis John Hall dari John Hall Associates yang berbasis di London, memperkirakan OPEC akan menuruti tekanan tersebut dan itu akan terlihat pada pertemuan luar biasa mereka di Wina, 1 Februari mendatang. "Saya sebelumnya yakin mereka akan menaikkan produksi pada Desember lalu. Sekarang saya yakin mereka akan melakukannya pada bulan depan," katanya kepada AFP. OPEC sendiri berkeras bahwa pembelian spekulatif lah yang telah mendorong harga minyak dan penambahan pasokan minyak tidak berpengaruh banyak pada pasar. "Untuk saat ini, pandangan OPEC adalah pasokan yang ada dan kondisi permintaan tidak seketat yang diindikasikan rekor harga minyak ," kata Julia Jessop, ekonom pada Capital Economics. "Namun jika harga minyak tetap berada pada 100 dolar AS per barel hingga 1 Februari mendatang, kami berharap adanya kenaikan kuota." Kenaikan kuota terakhir adalah pada September lalu saat Arab Saudi, yang merupakan sekutu AS meminta kenaikan 500.000 barel per hari setelah adanya keengganan dari musuh-musuh AS, yaitu Venezuela dan Iran. Lasserre memperkirakan kenaikan 500.000 barel per hari akan disepakati pada Februari nanti. Para analis sepakat bahwa faktor-faktor pendorong harga minyak lainnya berada di luar kontrol OPEC, yaitu pembelian oleh dana investasi, pelemahan dolar AS, kerusuhan di Nigeria dan ketidakstabilan di Pakistan. Namun, ada pula analis yang tetap menyalahkan OPEC. "OPEC belum memproduksi cukup minyak," kata analis pada Centre for Global Energy Studies, Leo Drollas, merujuk pada pemotongan produksi pada akhir 2006. Jumlah cadangan minyak di negara-negara industri, sebagai bantalan dalam sistem minyak dunia, telah turun, terutama di AS. Berdasarkan data terakhir, cadangan minyak mentah AS turun 4,0 juta barel menjadi 289,6 juta barel, yang berarti penurunan dalam tujuh pekan terakhir. Sebagian besar anggota OPEC, terutama Arab Saudi dan negara-negara Teluk lainnya, diperkirakan tidak menikmati dengan harga 100 dolar AS dan lebih menyukai harga pada kisaran 80 dolar AS. Harga yang tinggi tidak memberi reputasi bagus pada OPEC. Harga pada level ini malah akan mendorong konservasi energi, meningkatkan permintaan energi alternatif di negara-negara konsumen dan meningkatkan investasi di negara non OPEC, seperti di Kanada. John Hall menunjukkan hasil penelitian International Energy Agency (IEA) terakhir yang menyebutkan kenaikan harga minyak telah menghapus keuntungan banyak negara di Afrika dari bantuan asing dan pemotongan utang yang diberikan dalam tiga tahun teakhir. "Isu Afrika akan sangat menghantam OPEC. OPEC ingin dilihat membantu seluruh penduduk dunia," katanya. "Ini akan memberi tekanan tambahan pada mereka untuk melakukan sesuatu." (*)

Copyright © ANTARA 2008