Tianjin/Beijing (ANTARA) - "Perasaan puasa di sini tidak seperti di Indonesia. Apalagi dibandingkan dengan waktu saya 'mondok' dulu," tutur Yudi Hermawan.

Mahasiswa Tianjin University itu tiba-tiba teringat pada masa-masa menimba ilmu di Pondok Pesantren Nurul Jadid, Paiton, Jawa Timur, ketika diajak bicara tentang puasa Ramadhan.

Pelajar berusia 20 tahun itu lalu menggambarkan suasana bulan puasa di pondok pesantren dan kampung halamannya di Pulau Kangean.

"Di sana kalau puasa, suasananya ya benar-benar seperti puasa. Sepi, tidak banyak aktivitas warga," ujarnya mengenang suasana Ramadhan di gugusan pulau di timur laut Madura itu.

Demikian halnya dengan di pondok pesantren, dirasakan sangat lama menantikan tabuhan beduk magrib bertalu-talu.

"Meskipun banyak aktivitas belajar dan mengaji, menunggu waktu maghribnya terasa sangat lama gitu. Nggak tahu ya kenapa?" ujarnya.

Berbeda dengan di China yang sudah dua periode Ramadhan ini dia jalani. Yudi mengaku sama sekali tidak merasa sedang berpuasa karena tidak terbawa oleh lingkungan di sekitarnya.

Sejumlah pelajar Indonesia sedang menunggu azan maghrib Masjid Dongdashi, Kota Tianjin, Minggu (19/5/2019) (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

"Puasa ya puasa saja. Bahkan orang lain tidak pernah tahu, kalau saya sedang tidak makan dan tidak minum," kata mahasiswa Jurusan Administrasi Bisnis itu menceritakan pengalaman puasa di tengah lingkungan yang tidak berpuasa itu.

Begitulah sejatinya puasa karena sebagaimana Hadis Qudsi yang diriwayatkan oleh Bukhari Muslim bahwa semua amal ibadah anak Adam hanya untuk diri sendiri kecuali puasa yang hanya untuk Allah.

Aktivitas ibadah yang lain, seperti shalat, zakat, dan haji masih bisa dilihat oleh orang lain. Tidak demikian halnya dengan puasa, orang lain tidak tahu jika seseorang sedang menahan lapar dan dahaga sehari penuh.

Dalam beberapa tahun terakhir, bulan Ramadhan di belahan bumi bagian utara, termasuk daratan China, jatuh pada musim panas.

Itu berarti waktu edar matahari di China, terutama di wilayah utara dan timur laut, seperti Beijing, Tianjin, Shenyang, Changchun, dan Harbin, lebih lama dan lebih terik dibandingkan dengan di selatan.

Durasi waktu puasa di kota-kota tersebut relatif lebih lama dibandingkan dengan di wilayah selatan.

Sebagai perbandingan waktu Imsak di Beijing pada tanggal 21 Ramadhan 1440 Hijriah (26/5/2019) pukul 03.15 dan magrib pukul 19.34. Sementara di Kota Hangzhou, Provinsi Zhejiang, yang agak ke selatan, imsak pukul 03.26 dan maghrib 18.52.

Di China, semakin maju perjalanan bulan Ramadhan, semakin lama durasi waktu puasanya karena matahari terbit lebih dini, sedangkan waktu terbenam lebih lambat.

Dibandingkan dengan di Indonesia, tentu saja masa puasa lebih lama karena bisa jadi Yudi yang tinggal di Tianjin sudah imsak, sedangkan keluarganya di Indonesia bagian barat masih terlelap, apalagi adanya perbedaan waktu satu jam. Demikian halnya ketika keluarganya di Kangean sudah bersiap shalat tarawih, dia masih iftar.

"Tapi karena suasana di sini tidak lazimnya bulan Ramadhan, maka lamanya waktu puasa pun tidak terasa," ujarnya.

Iftar Huimin

Kring...!!! Suara mirip bel pun berbunyi tepat pukul 19.34 (18.34 WIB) pada Sabtu (25/5/2019) diikuti doa sejenak seorang imam.

Belasan orang di beranda Masjid Changying membatalkan puasanya dengan seteguk air yang sudah disiapkannya.

Sementara beberapa orang lainnya, menikmati menu iftar di salah satu ruang takmir. Semua makanan, mulai dari semangka, aneka bolu, roti isi daging, bakpao, daging cincang campur jeroan sapi hingga bubur kacang merah tersaji di atas meja.

Umat Islam sekitar dan takmir mengitari meja saji. Sebagian ada yang duduk, sebagian lainnya berdiri, dengan satu tujuan melepas lapar dan dahaga yang ditahan hampir 16,5 jam di awal musim panas yang menyengat.

Sebagian Muslim beretnis Hui iftar dengan seteguk air di beranda Masjid Changying, Beijing, Sabtu (25/5/2019) (ANTARA/M. Irfan Ilmie)

Beraneka macam penganan itu berasal dari warga yang tinggal di Changying, distrik urban yang banyak dihuni oleh umat Islam China beretnis Hui.

"Anda nanti boleh kok bergabung bersama kami," kata Mao Yungling, takmir Masjid Changying mengajak ANTARA menikmati menu iftar.

Permukiman Muslim di Subdistrik Changying merupakan yang terbesar di Beijing dibandingkan dengan di Niujie yang memiliki masjid tertua.

Meskipun tidak menyandang ikon umat Islam China seperti Niujie, jumlah jemaah di Masjid Changying lebih besar.

"Jemaah tarawih saja bisa 400 orang setiap hari," kata Mao yang sudah puluhan tahun mengabdi di Masjid Changying.

Pada saat shalat Id, pria berusia 76 tahun yang sudah pergi haji itu menyebutkan angka jamaah 700 orang.

"Tapi kalau Jumat bisa 1.000 orang yang shalat di sini," kata Baiyu, salah satu imam di masjid yang dibangun masa Dinasti Ming (1368-1644) dan direkonstruksi pada masa Dinasti Qing (1644-1911).

Sebagai area suburban di wilayah timur Beijing, Changying boleh dibilang daerah komunitas Muslim terpadu. Tidak hanya masjid, fasilitas pendukung lainnya pun, termasuk sekolahan, dibangun oleh pemerintah daerah kota setempat.

Warung dan rumah makan dengan beraneka macam makanan halal bertebaran di wilayah itu. Pasar tradisional berdampingan dengan pasar modern yang sama menyediakan beragam bahan makanan dan minuman bersertifikat halal.

Changying juga mudah dijangkau dengan kendaraan umum, seperti bus kota dan kereta bawah tanah (subway), dari pusat kota.

Beberapa apartemen di wilayah itu juga terlihat bernuansa Islam. "Boleh dibilang Changying ini kawasan halalnya Beijing, bahkan lebih besar dibandingkan dengan Niujie," kata Riyono Utomo, warga negara Indonesia yang sudah 23 tahun tinggal di Beijing.

Baca juga: Muslim Uighur juga bisa berlebaran

Baca juga: Pelajar Indonesia pelopori penyediaan kursi disabilitas di masjid

Baca juga: Dua toko produk olahan sarang walet Indonesia buka di China

Editor: Azizah Fitriyanti
Copyright © ANTARA 2019