Jakarta (ANTARA News) - Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) menyatakan sepanjang 2007 impor tekstil legal maupun ilegal melonjak hingga 72,55 persen dan 69,35 persen sehingga menekan pangsa pasar produk lokal.
"Situasi ini sudah sangat mengkhawatirkan," kata Ketua Umum API Benny Soetrisno, di acara pemaparan kinerja industri TPT 2007 dan proyeksi 2008, di Jakarta, Rabu.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), impor tekstil 2007 melonjak hingga 72,55 persen dari 51.000 ton menjadi 88.000 ton.
Sementara itu, API mengungkapkan impor tekstil ilegal juga melonjak hingga 69,35 persen dibanding 2006, yaitu dari 509.000 ton menjadi 862.000 ton senilai 4,74 miliar dolar AS atau tertinggi selama lima tahun terakhir.
Masuknya tekstil impor sebanyak 950.000 ton selama 2007, telah menekan pangsa pasar produk lokal. Berdasarkan data BPS, Departemen Perindustrian, dan Bank Indonesia yang diolah API, telah terjadi penurunan penjualan sebesar 42,9 persen pada 2007 dibanding tahun sebelumnya yaitu dari 456.000 ton menjadi 270.000 ton.
Penurunan pangsa pasar domestik itu, menurut Benny, disebabkan lemahnya komitmen pemerintah dan konsumen menggunakan produksi dalam negeri serta belum berhasilnya pemerintah mencegah penyelundupan.
"Penggunaan produk-produk impor masih sangat kencang meski sudah ada Keppres No.80/2003 tentang penggunaan produk dalam negeri," katanya.
Menurut dia, banyak kepentingan membuat tidak sepakat memakai barang produksi lokal. Padahal dari asosiasi, seluruh produsen bisa memenuhi kebutuhan pasar lokal.
Nilai penjualan produk domestik pada 2007 hanya mencapai 1,97 miliar dolar AS dari total penjualan yang mencapai 6,71 miliar dolar AS, selisihnya diduga diserap produk impor ilegal.
Untuk itu, API mendesak Departemen Perdagangan untuk melobi pemerintah China agar membatasi ekspor produk garmen ke Indonesia atau segera menerapkan mekanisme safeguard (pengamanan perdagangan).
"Kalau Indonesia mau melakukan safeguard, kita harus melakukan pemetaan [mapping] sektor industri mana yang lemah," ujarnya.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008