Jakarta (ANTARA News) - Kejaksaan Agung (Kejakgung) kembali mengulur penyelidikan kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) selama dua bulan hingga Februari 2008. "Terhadap kasus BLBI diberikan waktu lagi selama dua bulan," kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Kemas Yahya Rahman, dalam laporan tahunan kinerja Kejaksaan RI di Jakarta, Rabu. Awalnya, penyelidikan kasus BLBI ditargetkan selesai dalam waktu tiga bulan. Penyelidikan kemudian diperpanjang dua bulan dengan alasan kejaksaan belum memiliki bukti yang kuat. Setelah diperpanjang, penyelidikan diperkirakan selesai pada Desember 2007. Kemas mengatakan, penyelidikan BLBI diperpanjang untuk ketiga kalinya karena penyidik masih memerlukan waktu untuk mencari tambahan bukti, berupa dokumen asli dan keterangan saksi. Menurut dia, tim penyelidik Kejaksaan Agung bersama pegawai dari Departemen Keuangan dan mantan karyawan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) telah berusaha mencari sejumlah dokumen asli atas kasus tersebut. "Secara keseluruhan (dokumen) belum kita temukan," kata Jampidsus. Selain itu, Kejaksaan Agung belum berhasil meminta keterangan dari sejumlah pihak, antara lain konsultan penilai aset, Lehman Brothers. Kini, Kejaksaan Agung sedang berkonsentrasi menyelidiki dugaan penyimpangan penyerahan aset obligor atau pemegang saham pengendali (PSP) kepada Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dalam dua kasus pengucuran Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Kejaksaan Agung sedikitnya telah memeriksa 51 orang saksi dalam dua kasus tersebut. Dua kasus tersebut adalah penyerahan aset obligor atau PSP atas kucuran BLBI pada 1997 dan 1998. Kemas merinci pada 1998 terjadi kucuran BLBI sebesar Rp35 triliun. Dalam rangka pelaksanaan Master Settlement for Acquisition Agreement (MSAA) pada September 1998, menurut Kemas, jumlah Kewajiban Pemegan Saham (JKPS) atas kucuran tersebut meningkat menjadi Rp52,7 triliun. "Sayangnya perhitungan itu tidak dilakukan oleh auditor independen," katanya. Kemudian BPPN menindaklanjuti perhitungan itu dengan bantuan auditor independen dengan hasil yang tidak jauh berbeda, yaitu Rp52,6 triliun. Dengan begitu, kata Kemas, maka obligor diperkirakan akan dapat menyerahkan aset kepada negara. Namun demikian, pada 2006 perhitungan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan aset yang diserahkan kepada negara hanya Rp19 triliun, lebih sedikit dari nilai awal kucuran BLBI dan JKPS. Kemudian kasus yang kedua terjadi setelah terjadi kucuran BLBI sebesar Rp37 triliun pada 1997. Berdasar audit BPK, dana BLBI membengkak menjadi Rp49,189 triliun, dengan JKPS sebesar Rp28,408 triliun setelah dikurangi aset bank penerima BLBI sebesar Rp18,850 triliun. Kemas mengatakan penyerahan aset senilai Rp28,408 triliun itu akan dibayar tunai Rp1 triliun dan penyerahan aset senilai Rp27,495 triliun. Namun demikian, setelah dilakukan perhitungan oleh auditor dari Pricewaterhouse Cooper pada 2000, nilai aset hanya Rp1,441 triliun. Nilai aset itu mengalami kenaikan menjadi Rp1,819 triliun setelah dijual dan masih terdapat sisa aset sebesar Rp640 miliar. Dengan begitu, katanya, uang yang diterima BPPN hanya Rp3,459 triliun yang terdiri dari pembayaran tunai (Rp1 triliun), penjualan aset (Rp1,819 triliun), dan sisa aset (Rp640 miliar).(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2008