Kupang (ANTARA) - Pengamat politik dari Universitas Muhammadiyah Kupang, Dr. Ahmad Atang, MSi mengatakan, ruang untuk menguji kecurangan pemilu hanya melalui Mahkamah Konstitusi (MK).

Namun MK hanya akan menyidangkan sengketa hasil perhitungan suara dan tidak semua kecurangan yang diungkapkan menjadi perkara di MK, kata Ahmad Atang kepada Antara di Kupang, Sabtu.

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan keputusan Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandiaga Unu untuk mengajukan sengketa hasil Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Tim kuasa hukum Prabowo Subianto-Sandiaga Uni, Jumat (24/5) malam telah mendaftarkan gugatan ke MK.

"Menurut saya, ruang untuk menguji kecurangan hanya melalui Mahkamah Konstitusi (MK), sehingga keputusan BPN Prabowo-Sandi untuk membawa hasil Pilpres ke MK merupakan langkah tepat.

Namun, harus diingat bahwa MK hanya akan menyidangkan sengketa hasil perhitungan suara dan tidak semua kecurangan yang diungkapkan menjadi perkara di MK, kata Ahmad Atang.

Disamping itu, harus juga dilihat selisih perolehan suara antara pasangan calon yang layak untuk disengketakan, jika selisihnya di bawah dua persen.

Sementara dari hasil penghitungan KPU, selisih antara 01 dengan 02 lebih dari 9 persen sehingga secara kasat mata dapat dikatakan bahwa kecil kemungkinan jika gugatan 02 dapat dikabulkan oleh MK.

Degradasi Moral
Menurut dia, secara psikologis, BPN sedang mengalami degradasi moral politik di mata publik, terkait dengan kerusuhan 22 Mei yang tidak terlepas dari wacana politik yang dibangun soal "people power" oleh BPN sendiri.

Disamping itu, keutuhan koalisi BPN mengalami prahara dengan adanya sikap politik PAN dan Demokrat yang sudah mengakui kemenangan paslon 01, katanya.

Sementara PKS mengambil sikap membisu atas peristiwa politik pilpres, katanya menjelaskan.

Kenyataan ini memperlihatkan bahwa praktis hanya Gerindra saja yang sedang bermain sendiri tanpa dukungan politik dari partai koalisi.

Dengan demikian, stamina untuk menuju ke proses hukum menjadi berkurang secara signifikan karena tidak ada dukungan maksimal dari dalam, kata pengajar ilmu politik pada sejumlah perguruan tinggi di NTT itu.

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Yuniardi Ferdinand
Copyright © ANTARA 2019