Polarisasi yang sedang berlangsug saat ini memang sengaja dijaga

Kupang (ANTARA) - Akademisi dari Universitas Katolik Widya Mandira (Unwira) Kupang, Mikhael Raja Muda Bataona, MA menilai, paslon 02 Prabowo Subianto sedang memainkan langkah, untuk menjaga dan merawat massa pendukung untuk kepentingan kontestasi elektoral ke depan.

"Saya melihat, polarisasi yang sedang berlangsug saat ini memang sengaja dijaga dan dikonsolidasikan secara masif, agar massa paslon 02 yang jumlahnya sekitar 44 persen dari 154 juta pemilih itu, tetap terjaga dan dirawat militansinya demi kepentingan kontestasi elektoral ke depan," kata Mikhael Bataona kepada Antara di Kupang, Jumat.

Dia mengemukakan hal itu, berkaitan dengan situasi politik dan keamanan pascapengumuman hasil Pemilu serentak 2019, dan sikap Prabowo yang mendua dalam mengajukan sengketa hasil Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Latarbelang lain adalah, kemungkinan saja keterbelahan hari ini polanya akan dirawat semirip mungkin, atau bahkan lebih kuat lagi seperti konsolidasi elektoral pascaPilpres 2014 silam, lalu memuncak pada Pilgub DKI Jakarta, di mana simbolisasi cebong versus kampret menjadi narasi dan wacana paling dominan di ruang-ruang publik, baik virtual maupun fisik.

Masalah ideologi

Mengenai latarbelakang, dia mengatakan masalah ideologi, pandangan politik, juga semacam pengaruh kultur dan latar belakang sejarah, yang tidak bisa dijelaskan hanya dalam satu dua pernyataan hipotetis semata.

Menurut dia, butuh kajian-kajian ilmiah yang menyeluruh untuk bisa menyingkap hal ini.

Sebab, sejak pemilu tahun 1955, sebenarnya Indonesia sudah terbelah ke dalam banyak sekali ceruk aliran politik, sehingga keterbelahan bangsa hari ini, tidak datang sekonyong-konyong dari langit.

Tapi sudah ada benih-benuh kulutralnya, bahkan landasan epistemik yang sudah lama mengendap dalam kesadaran rakyat.

Sehingga Paslon 02 versus paslon 01 hanyalah saluran yang digunakan untuk mengekspresikan kesadaran politik yang telah lama mengendap itu.

Bahwa ada juga masyarakat yang tidak masuk ke dalam kelompok-kelompok politik aliran tersebut adalah benar, tetapi yang terbaca hari ini adalah ekspresi identitas masing-masing kelompok itu yang kalau dalam bahasa politik, kebanyakan menggunakan alasan-alasan identitas terutama agama dan latar belakang sejarah.

Akhirnya Prabowo maupun Jokowi dalam posisi sangat sulit untuk mengeluarkan diri mereka dari belenggu pertarungan massa rakyat dan terutama elit yang sejak 2014 sudah aktif terlibat dalam pertarungan politik identitas.

"Jadi berharap bahwa Prabowo akan mengakui kekalahan itu sulit. Secara simbolik bisa saja iya. Tapi secara real akan adanya rekonsiliasi hingga ke akar rumput itu saya kira sangat sulit," katanya.

Persoalannya adalah kata dia, kelompok kanan dan kelompok tengah atau nasionalis di negeri ini masih menjadi dua pemain utama dalam pertarungan politik sejak tahun 1955.

"Butuh waktu untuk mencapai apa yang terjadi di Eropa misalnya yang sudah cukup liberal dan inklusif dalam politik," katanya.

Apalagi saat ini Kapolri sudah membentuk tim investigasi yang dipimpin Irwasum untuk mengetahui apa penyebab jatuhnya korban atau sampai adanya kematian para perusuh dari massa perusuh yang ikut mengacaukan demo kemarin.

Situasinya akan tetap menegangkan karena alat negara dicurigai dan bahkan lembaga negara termasuk penyelenggara pemilu sepertinya didelegitimasi secara sistematis dengan narasi-nerasi politik yang memojokan.

Baca juga: Akademisi: Jangan kotori hasil Pilpres dengan narasi provokatif

Baca juga: Ini syarat Wiranto akan hormat kepada Prabowo

Baca juga: Hermawan Sulistyo: Prabowo harus bertanggung jawab kericuhan 22 Mei

Pewarta: Bernadus Tokan
Editor: Ganet Dirgantara
Copyright © ANTARA 2019