Purwokerto (ANTARA) - Dosen Program Studi Pendidikan Biologi Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Universitas Muhammadiyah Purwokerto (UMP), Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah, Sisunandar, Ph.D. berhasil mengembangkan pembibitan kelapa kopyor hibrida dengan menggunakan teknologi kultur jaringan.
"Saya mulai meneliti kelapa pada tahun 2004 hingga 2008. Selanjutnya pada tahun 2008 saat menyusun disertasi S3 di Australia, saya meneliti kelapa kopyor," katanya di Purwokerto, Rabu.
Sisunandar mengatakan hal itu saat panen kelapa kopyor bersama Direktur Jenderal Penguatan Riset dan Pengembangan Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Kemenristekdikti) Dr. Muhammad Dimyati, M.Sc. di "Science Techno Park" UMP.
Setelah kembali ke Indonesia, dia terus berusaha mengembangkan penelitian terhadap kelapa kopyor tersebut hingga akhirnya berhasil pada tahun 2012.
"Sebenarnya pada tahun 2011 sudah berhasil, namun dibutuhkan proses pembibitan sampai menuai hasil pada tahun 2012. Salah satu hasilnya, yang ditanam di kantor pusat UMP, itu yang pertama kalinya ditanam," katanya.
Lebih lanjut, dia mengatakan kelapa kopyor merupakan plasma nutfah unggul yang bernilai ekonomi tinggi sehingga dapat digunakan dalam program pengurangan kemiskinan di Indonesia.
Kendati demikian, dia mengakui pembenihan kelapa kopyor tidak dapat dilakukan secara alami sehingga harus menggunakan cara alternatif untuk memecahkan permasalahan tersebut.
"Satu-satunya alternatif yang tersedia untuk memecahkannya, yakni dengan mengggunakan kultur embrio. Hasil penelitian 'mini growth chamber' berhasil digunakan untuk menginduksi akar dan mengadaptasikan benih kelapa kopyor hasil kultur jaringan secara langsung dengan tingkat keberhasilan tinggi 90 persen dengan menggunakan metode 'ex vitro rooting'," katanya.
Menurut dia, metode "ex vitro rooting" juga berhasil digunakan untuk mengadaptasikan benih yang berasal dari empat kultur kelapa secara langsung dengan keberhasilan tinggi.
Dalam hal ini, kata dia, benih tanpa akar maupun benih lengkap dengan akar berhasil diaklimatisasikan secara langsung.
Dengan demikian, pembibitan kelapa kopyor yang dilakukan dengan metode kultur jaringan dapat menghasilkan tanaman yang dapat berbuah banyak dalam satu tandan dan seluruhnya kopyor.
"Selama ini dalam satu tandan (kelapa) paling dua atau tiga butir, nah yang kopyor itu tidak bisa dibenih atau dikecambahkan. Petani hanya menggunakan kelapa yang normal dari tandan yang ada kopyornya, itu ditanam, maka persentase buah kopyornya kecil, paling satu-dua butir dalam satu tandan," jelasnya.
Sisunandar mengatakan bibit kelapa kopyor yang dikembangkan dengan teknologi kultur jaringan itu dapat dipanen pada usia empat tahun setelah tanam.
Pada tahun pertama, kata dia, jumlah buah atau kelapa kopyor yang dihasilkan dalam satu tandan hanya berkisar empat hingga tujuh butir, namun pada tahun berikutnya bisa menghasilkan sedikitnya 15 butir per tandan.
"Usia produktif bisa mencapai 45-50 tahun. Setiap satu pohon yang sistem pengairannya baik, dalam satu bulannya bisa panen sebanyak satu tandan, sedangkan harga kelapa kopyornya berkisar Rp30.000-Rp40.000 per butir," katanya.
Sementara itu, Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristekdikti Dr. Muhammad Dimyati, M.Sc. mengatakan dalam penelitian yang paling penting adalah bagaimana hasil penelitian tersebut minimal bisa memberikan manfaat bagi masyarakat sekitar dan lebih besar lagi bagi bangsa Indonesia.
Oleh karena itu setelah hasil penelitian tersebut bisa terwujud, kata dia, langkah berikutnya adalah bagaimana membuat agar kelapa kopyor tersebut terhilirkan.
"Artinya, bisa dimanfaatkan oleh industri untuk memenuhi kebutuhan pengguna atau orang-orang yang suka kelapa kopyor karena kelapa kopyor tidak hanya untuk makanan, juga untuk kosmetik dan sebagainya," katanya.
Terkait dengan hal itu, dia mengharapkan penelitian tersebut terus dilanjutkan dan UMP diharapkan membuat satu unit bisnis yang bisa mengembangkan kelapa kopyor karena kebutuhan komoditas tersebut di Indonesia cukup besar.
Dia mencontohkan salah satu perusahaan es yang telah memiliki 100 cabang di Indonesia, dalam sehari membutuhkan 1.000 butir kelapa kopyor.
"Kalau 1.000 kelapa kopyor, kita perlu lahan kira-kira 20-an hektare. Itu artinya, potensi bisnis kelapa kopyor sangat menjanjikan. Itu baru dari satu perusahaan es saja, belum dari perusahaan yang lain, belum lagi untuk kebutuhan kosmetik, apalagi ekspor," katanya.
Oleh karena penelitian tersebut bersifat individual, dia mengimbau ke depan digabung dengan penelitian dari lembaga-lembaga lain untuk melakukan pengemasan terhadap kelapa kopyor agar awet dan bisa diekspor.
Dengan demikian, kata dia, skema-skema yang disediakan pemerintah untuk penelitian yang dilakukan bersama antarlembaga penelitian dan perguruan tinggi, bisa menjadi wahana untuk melanjutkan penelitian-penelitian semacam itu.
"Sekali lagi yang lebih penting adalah setelah penelitian ini, institusinya mengembangkan langkah berikutnya untuk melangkah ke bisnis karena inti dari penelitian itu menemukan inovasi, dan inovasi itu diharapkan bisa memberikan kemanfaatan, minimal untuk daya saing, tidak sekadar menemukan sesuatu kemudian dipublikasi dan dipatenkan," katanya. ***3***
Pewarta: Sumarwoto
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2019