Oleh Chaidar AbdullahJakarta (ANTARA News) - Bagai menyambangi ajal, dia kembali ke negeri asalnya setelah bertahun-tahun hidup di pengasingan. Benazir Bhutto pada Kamis (27/12) terbunuh di lapangan tempat ayahnya menjalani hukuman gantung puluhan tahun sebelumnya. Sadar akan risiko, tak menghentikan langkahnya untuk kembali ke negara asal dan kematiannya menjadi kado pahit akhir tahun bagi Pakistan. Benazir, yang pernah dua kali menjadi Perdana Menteri (PM) Pakistan dan pemimpin partai politik paling tangguh di negeri itu, Partai Rakyat Pakistan (PPP), meninggal di sebuah rumah sakit di Rawalpindi, satu jam setelah serangan. Hal itu adalah serangan bunuh diri kedua yang ditujukan kepada Benazir (54), sejak ia kembali dari delapan tahun hidup di pengasingan yang diputuskannya sendiri pada Oktober 2007. Serangan pertama menewaskan 139 orang, tapi Benazir selamat. PM India, Manmohan Singh, mengatakan bahwa pembunuhan Benazir menjadi pengingat mengenai "bahaya bersama" yang dihadapi oleh India dan Pakistan. Pemimpin dunia pun mengeluarkan reaksi keras atas terbunuhnya orang yang oleh Presiden Afghanistan, Hamid Karzai, disebut sebagai "Putri Terbesar Dunia Muslim" itu. Benazir menjadi sasaran ancaman dari pihak yang mengaku sebagai kelompok fanatik yang menjadikan Pakistan sebagai "rumah mereka", mulai Al-Qaeda pimpinan Osama bin Laden, hingga kelompok teror yang tumbuh subur, dan bahkan sampai kelompok perlawanan di perbatasan dengan Afghanistan. Benazir ditembak oleh seseorang yang melompat ke bak mobil di belakangnya setelah pertemuan terbuka di kota yang menjadi kubu pemilihnya, Rawalpindi, tempat dinas intelijen dan militer negeri itu berpangkalan. Peristiwa tersebut mencuatkan kemarahan di kalangan pendukungnya, media transnasional melaporkan kerusuhan merebak di berbagai kota besar Pakistan setelah Benazir terbunuh, dan mengarahkan kecurigaan pada pemerintah Presiden Pakistan, Jenderal (Purnawirawan) Pervez Musharraf. Mantan PM Pakistan itu menyalahkan Al-Qaeda, Taliban dan kelompok garis keras yang tumbuh di dalam negerinya atas pemboman bunuh diri 18 Oktober, yang menodai prosesi penyambutan kepulangannya dari pengasingan untuk memimpin partai oposisi dalam pemilihan anggota parlemen, yang dijadwalkan 8 Januari 2008. Tetapi, ia juga menuduh simpatisan kelompok garis keras dalam pemerintah Musharraf mendukung upaya untuk membunuhnya. Orang nomor dua di Al-Qaeda, Ayman Az-Zawahiri, mengecam kepulangan Benazir dalam pesan video pada Desember 2007, dan menyerukan serangan terhadap semua calon partainya dalam pemilihan umum 8 Januari 2008. Menurut Benazir, beberapa orang Pakistan yang ditangkap dalam suatu upaya pembunuhan selama masa jabatan keduanya pada 1990-an mengatakan mereka "mengikuti perintah Osama bin Laden". Benazir, pemimpin yang mengenyam pendidikan di Inggris dan mendapat dukungan Amerika Serikat (AS), serta berikrar akan melipat-gandakan perang Pakistan melawan fanatisme agama, juga dipandang hina oleh kaum garis keras ala-Taliban yang mendapat dukungan suku di sepanjang perbatasan Afghanistan. Seorang gembong suku di wilayah Waziristan bahkan dilaporkan mengatakan "akan menyambut kepulangan Benazir dengan pembom bunuh diri", tapi dalam pernyataan melalui televisi dan kepada wartawan surat kabat, tetua suku itu belakangan membantah pernyataan tersebut. Benazir bahkan dicap sebagai "orang murtad" oleh kelompok seperti Jaish-ul Mohammed, Lashkar-e-Tayyaba dan Hezb-u; Mujahedeen yang disebut-sebut diayomi oleh dinas intelijen dan militer Pakistan untuk menghadapi tetangga Pakistan, India, di wilayah sengketa Kashmir. Kelompok-kelompok tersebut belakangan bergabung dengan Al-Qaeda dan telah berikrar akan memerangi tentara asing di Afghanistan, serta mengobarkan perang melawan militer Pakistan karena dukungannya pada "perang melawan teror pimpinan AS". Sebagian pemimpin mereka menyatakan Benazir "pantas mati karena ancamannya untuk menggilas kaum fanatik". Ancaman dari mana-mana Tetapi, kelompok garis keras bukan satu-satunya kelompok yang disoroti atas pembunuhan itu. Pensiunan Jenderal Angkatan Darat Hamid Gul, mantan pemimpin dinas intelijen antar-departemen, dilaporkan mempertanyakan pengaturan keamanan yang dilakukan bagi pertemuan terbuka Benazir. Polisi memang berjaga-jaga di sekitar taman tersebut, tempat Benazir berpidato, tapi si penyerang tetap dapat mendekati gerbang belakang taman tempatnya menembak Benazir sewaktu putri mendiang Zulfikar Ali Bhutto itu akan pergi dan kemudian si penembak meledakkan dirinya. Seorang teman Benzir di Washington, Mark Siegel, mengatakan kepada CNN bahwa mantan perdana menteri tersebut telah "sangat prihatin bahwa ia tak memperoleh pengamanan yang telah dimintanya", termasuk piranti yang digunakan untuk menghambat sinyal telepon genggam. Kini kenyataannya, seorang pembom bunuh diri dapat melancarkan serangan tanpa ada peringatan dini mengenai gerak Benazir melalui telepon genggam atau peralatan lain. Di Washington, para pejabat Biro Intelijen Federal (FBI) dan Keamanan Dalam Negeri diberitakan mengirim buletin kepada lembaga pelaksana hukum di seluruh dunia untuk mengingatkan bahwa Al-Qaeda menyatakan bertanggung jawab atas serangan yang pernah dilakukan terhadap Benazir dan Az-Zawahiri telah merencanakannya. Tetapi, pada November 2007 tersiar berita bahwa bekas pemimpin Hezb-ul Mujahedeen mengatakan bahwa sebagian anggota dinas intelijen Pakistan tidak puas dengan gagasan bahwa seorang perempuan memimpin satu negara Muslim dan celaan Benazir terhadap kaum fanatik. Kelompok itu diduga menerima dana besar dari dinas intelijen Pakistan untuk berperang di Kashmir India. Ketidak-puasan terhadap tokoh oposisi bukan hanya terjadi di Pakistan, di beberapa negara lain keadaan serupa juga terjadi. Nasib buruk juga dialami oleh Aung San Suu Kyi, pemimpin Liga Nasional bagi Demokrasi (NLD) di Myanmar yang telah bertahun-tahun menjalani tahanan rumah. Selama ini, bukan tak ada kekhawatiran bahwa Suu Kyi "menjadi korban" dalam pergolakan militer melawan demokrasi. Yang dialami Benazir pada penghujung tahun ini adalah peristiwa tragis keempat yang merongrong keluarga Bhutto, dan diperkirakan bakal menyulut kekacauan luas sehingga mengancam pemilihan umum negeri itu pada 8 Januari. Pada 1979, ayahnya yang juga mantan PM, Zulfikar Ali Bhutto, menemui ajal di tiang gantungan oleh rejim Muhammad Zia ul-Haq, di lapangan tempat ajal juga menjemput sang putri tertua, Benazir. Pada 1980, saudara laki-laki Benazir, Shah-nawaz dibunuh di Prancis, dan tahun 1996 adik laki-laki lain Benazir, Mir Mutaza juga menemui ajal karena dibunuh. Sehari setelah Benazir dibunuh, belum ada pihak yang secara resmi terbukti bertanggung jawab. Yang menjadi pertanyaan ialah apakah ia dibunuh oleh kelompok fanatik, yang sangat membencinya? Atau oleh pihak lain yang ingin menghapuskan garis keturunan Bhutto dalam kancah politik Pakistan? (*)
Oleh
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007