Jakarta (ANTARA News) - Ketika menginjakkan kakinya kembali ke Pakistan pada 18 Oktober lalu, dengan mengenakan baju tradisional warna hijau, celana putih dan kerudung warna bendera Pakistan, Benazir Bhutto (54) telah sadar keselamatannya terancam.
Meski telah mendapatkan peringatan dari kepolisian bahwa dirinya adalah sasaran pembunuhan kelompok Al Qaeda atau gerilyawan Taliban, Benazir tidak gentar untuk kembali ke tanah tumpah darahnya.
"Saya tidak ingin memikirkan risiko itu...Saya ingin memikirkan kesempatan bagi rakyat saya," kata ketua Partai Rakyat Pakistan (PPP) Benazir Bhutto.
Mantan Perdana Menteri Pakistan ini tiba di tanah kelahirannya setelah delapan tahun tinggal di pengasingan. Benazir menangis ketika turun dari pesawatnya. Sekitar 250 ribu pendukungnya berdiri di jalan-jalan menyambut kepulangannya.
Presiden Pakistan Pervez Musharraf telah setuju untuk memberikan Benazir amnesti menyangkut tuduhan-tuduhan korupsi yang menyebabkan ia tinggal di pengasingan, dalam satu usaha bagi kemungkinan perjanjian pembagian kekuasaan.
Kepulangan Benazir ke Pakistan pada Oktober 2007 adalah kedua kalinya. Pada 1986, perempuan kelahiran Karachi, 21 Juni 1953, itu kembali ke tanah airnya setelah menjalani pengasingan sejak 1984.
"Saya jauh lebih tua, saya telah belajar banyak dalam 20 tahun terakhir ini tetapi kita masih memerangi seorang diktator," kata Benazir kepada AFP.
Ia mengabaikan ancaman pembunuhan dari Al Qaeda dan memilih menerima sambutan selamat datang dari ratusan pendukungnya.
Ancaman kematian yang dialami Benazir ini tidak dapat menggoyahkan keinginannya untuk membangun Pakistan. "Kita ingin mengucilkan kelompok garis keras dan membangun Pakistan yang lebih baik," katanya.
Ia berikrar akan ikut dalam pemilu Januari 2008 dan memenangi masa jabatan ketiga dalam pemerintahan, setelah pulang ke negaranya yang dilanda kemelut politik.
Benazir Bhutto telah mengatakan bahwa Partai Rakyat Pakistan akan ikut dalam pemilihan parlemen yang dijadwakan 8 Januari 2008. Keinginannya untuk mengubah Pakistan terus menguat.
Ia pun dengan lantang menentang status negara dalam keadaan darurat yang diberlakukan Presiden Pervez Musharraf di awal November 2007.
"Saya menyerukan kepada rakyat Pakistan untuk tampil ke depan. Kita diserang," kata Benazir.
Benazir dikenal sebagai sosok yang cerdas dan berani. Pada 1969-1977 Benazir Bhutto belajar di Radcliffe College, Universitas Harvard, Massachusetts, Amerika Serikat. Ia melanjutkan studinya di Universitas Oxford pada 1973-1977.
Pada 16 November 1988, hampir genap satu tahun usia pernikahannya dengan Asif Ali Zardari, Benazir mengikuti pemilihan dan terpilih sebagai Perdana Menteri Pakistan tahun 1988. Benazir Bhutto menjadi perdana menteri wanita pertama di dunia Muslim. Ketika itu ia baru usia 35 tahun.
Namun, ia dipecat pada 1990, kemudian terpilih kembali pada 1993, dan dipecat lagi pada 1996 di tengah tuduhan korupsi.
Ia mengatakan tuduhan itu telah dimotivasi secara politik, namun pada 1999, ia memilih tinggal di pengasingan ketimbang menghadapi tuduhan.
Ancaman yang terus memburu Benazir tidak dapat menghambat keinginannya untuk menegakkan demokrasi di Pakistan. Semangatnya tidak goyah meskipun harus mempertaruhkan nyawa.
Setelah tiba di tanah airnya kembali, serangan terhadap Benazir pun terjadi di Karachi, saat perjalanan setelah menginjakkan kakinya kembali di tanah air.
Seorang pembom bunuh diri menewaskan hampir 150 orang dalam serangan terhadap Bhutto ketika ia berparade melalui kota Karachi, Pakistan selatan, pada saat kepulangannya dari pengasingan.
Gerilyawan Islam dituding sebagai pelaku serangan tersebut, tapi Bhutto telah mengatakan siap menghadapi bahaya untuk membantu negara itu.
Benazir Bhutto menuduh para pendukung mendiang penguasa militer Pakistan Mohammed Zia ul-Haq berada di belakang pemboman yang menewaskan lebih dari 130 orang setibanya di Karachi.
"Saya tahu siapa yang ingin membunuh saya. Adalah orang-orang terkemuka dari bekas rejim Jenderal Zia yang sekarang ini berada di balik ekstremisme dan fanatisme itu," katanya dalam wawancara yang diterbitkan situs Internet Paris-Match.
Tuhan pun berkendak
Tuhan pun berkehendak. Setelah berulang kali lolos dari maut, pemimpin oposisi Pakistan ini tewas akibat serangan senjata dan bom seusai menghadiri rapat umum di kota Rawalpindi, Kamis (27/12).
Bhutto, tewas di rumah sakit di Rawalpindi. Televisi Ary-One mengatakan ia ditembak di kepala.
Polisi mengatakan seorang pembom bunuh diri telah melepaskan beberapa tembakan pada Bhutto ketika ia (Bhutto) meninggalkan tempat rapat umum itu di sebuah taman sebelum meledakkan dirinya sendiri.
"Orang itu pertama menembak kendaraan Bhutto. Ia (Bhutto) membungkuk dan kemudian ia (pembom) meledakkan dirinya," kata pejabat polisi Mohammad Shahid.
Polisi mengatakan 16 orang telah tewas akibat ledakan itu.
"Itu adalah tindakan orang yang ingin menghancurkan Pakistan karena ia (Bhutto) merupakan simbol persatuan. Mereka telah menghabisi keluarga Bhutto. Mereka adalah musuh Pakistan," kata pejabat senior partai Bhutto, Farzana Raja.
Setelah insiden pembunuhan, lebih dari 100 pendukung Bhutto memblokir jalan utama di kota bagian barat laut Pakistan itu, dengan membakar papan iklan dan poster partai utama di balik Presiden Pervez Musharraf, musuh Bhutto, sebelum polisi tiba di tempat. Mereka meneriakkan slogan-slogan termasuk "Hidup Bhutto".
Pada Jumat (28/12) dini hari, pesawat angkatan udara yang membawa jenazah Benazir Bhutto telah bertolak dari Islamabad, menuju kota Sukkur bagi pemakaman tokoh oposisi Pakistan terbunuh itu di sana.
Kepergiannya dilepas oleh suami dan ketiga anaknya sebelum pesawat lepas landas. Kepergiannya diiringi isak tangis dan zikir dari para pendukungnya.
Kepergian Benazir Bhutto meninggalkan semangat perjuangan membangun demokrasi di Pakistan. Tragedi terbunuhnya mantan perdana menteri Pakistan ini menambah daftar panjang permasalahan yang terjadi di Pakistan. Tragedi ini menjadi pemicu krisis politik berkepanjangan di negara dengan penduduk Muslim terbanyak di dunia.
Politisi sekaligus ibu dari tiga anak ini tetap dikenal sebagai seorang yang karismatik, tegas dan kritis terhadap pemerintahan, dimata pendukungnya. Benazir adalah pejuang demokrasi di Pakistan. (*)
Oleh Oleh Heppy Ratna Sari
Copyright © ANTARA 2007