Jakarta (ANTARA News) - Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Kamis, menyatakan PT Lapindo Brantas tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum dalam kasus semburan lumpur di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) menggugat Lapindo dan sejumlah pihak lain karena dianggap bertanggung jawab atas luapan lumpur yang menyebabkan kerusakan lingkungan hidup. Pihak lain yang juga digugat adalah PT Energi Mega Persada, PT Pan Asia, PT Kalila Pan Enterprise, PT Santos Brantas, Presiden RI, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), BP Migas, Kementerian Lingkungan Hidup (KLH), Gubernur Jawa Timur, dan Bupati Sidoarjo. Majelis Hakim yang diketuai Wahjono dengan didampingi Aswan Nurcahyo dan I Ketut Manika menyatakan para tergugat tidak dapat dinyatakan melakukan perbuatan melanggar hukum karena semburan lumpur adalah fenomena alam. Menurut Majelis, saksi dan ahli yang diajukan Walhi tidak bisa menjelaskan penyebab semburan lumpur, apalagi menyatakan bahwa semburan disebabkan kesalahan prosedur operasional Lapindo Brantas. "Ahli tidak bisa menjelaskan penyebab semburan lumpur," kata hakim anggota I Ketut Manika. Selain itu, katanya, keterangan saksi dan ahli dari Walhi tidak diperkuat dengan bukti-bukti kuat, seperti surat otentik. Sementara itu, menurut Majelis, saksi dan ahli yang diajukan Lapindo dan tergugat lainnya menegaskan bahwa semburan lumpur adalah murni fenomena alam. Saksi dan ahli dari tergugat dinilai memberikan keterangan yang jelas tentang fenomena alam tersebut. Selain itu, tergugat juga dinilai bisa menghadirkan alat bukti yang kuat. "Terjadinya semburan lumpur adalah fenomena alam, bukan kesalahan tergugat," kata Ketut Manika. Hakim Ketua Wahjono menegaskan, gugatan Walhi harus ditolak karena Lapindo dan tergugat lainnya tidak terbukti melakukan perbuatan melawan hukum yang mengakibatkan kerusakan lingkungan. "Menolak gugatan penggugat untuk seluruhnya," kata Wahjono. Meski menyatakan Lapindo beserta tergugat lainnya tidak bersalah, Majelis Hakim tetap mewajibkan para tergugat untuk memenuhi tanggung jawab moral, yaitu berusaha menghentikan semburan lumpur. Menanggapi putusan itu, kuasa hukum Walhi, Firman Wijaya menyatakan Majelis memiliki standar ganda dalam mengambil keputusan. Majelis pada satu sisi menyatakan para tergugat tidak bersalah, tetapi di sisi lain Majelis juga membebankan tanggung jawab kepada tergugat untuk menghentikan semburan lumpur. "Ini logika yang bertabrakan," kata Firman. Standar ganda tersebut juga menimbulkan pertanyaan apakah sebenarnya pemerintah dan tergugat lainnya bersalah atau tidak. Lebih lanjut, Firman menegaskan putusan majelis hakim sekaligus menandai kematian keadilan lingkungan di Indonesia. Hal itu disebabkan kecenderungan lembaga peradilan untuk memihak pelaku usaha daripada korban. "Keadilan lingkungan sudah mati," kata Firman menambahkan. Sementara itu, Direktur Eksekutif Walhi, Khalid Muhamad justru menyoroti cara kerja pengadilan yang tidak profesional. Menurut Khalid, sebagian ahli usulan Walhi yang bisa menjelaskan penyebab semburan lumpur merasa kecewa dan meninggalkan pengadilan karena sidang selalu terlambat dibuka. Dengan begitu, katanya, Majelis hanya mempertimbangkan keterangan ahli usulan Lapindo dan para tergugat. Khalid menjelaskan, Walhi akan berkonsultasi dengan para korban semburan lumpur tentang langkah hukum lebih lanjut. "Kalau korban yakin, kita akan banding," katanya. Namun, kalau korban sudah tidak percaya dengan dunia peradilan di Indonesia, Walhi tidak akan melakukan upaya hukum. Sebelumnya, Lapindo juga dibebaskan dari gugatan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) oleh Majelis Hakim PN Jakarta Pusat. Mejelis menolak tudingan YLBHI bahwa Lapindo telah mengabaikan hak-hak ekonomi, sosial, dan budaya (ekosob) para korban luapan lumpur. Menurut Majelis, Lapindo telah mengeluarkan banyak biaya untuk menangani semburan lumpur.(*)

Pewarta:
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007