Jakarta (ANTARA News) - Tim Indonesia Bangkit (TIB) menilai, perekonomian Indonesia pada 2007 sangat didominasi oleh kebijakan lepas tangan (hands-off policy) sehingga terjadi banyak ketidakadilan, terutama bagi masyarakat miskin. "Pemerintah membiarkan kebijakan perdagangan dan industri yang liberal dan kebijakan fiskal yang konservatif sehingga kontraproduktif terhadap pengurangan jumlah rakyat miskin dan pengangguran," kata anggota TIB, Hendri Saparini, dalam "Catatan Ekonomi Akhir Tahun 2007" di Jakarta, Rabu. Direktur Pelaksana ECONIT itu mencontohkan, meski anggaran kemiskinan terus bertambah setiap tahun, dari Rp18 triliun pada 2004 menjadi Rp51 triliun pada 2007, jumlah penduduk miskin tetap tidak berkurang. Kondisi tersebut karena pemerintah meliberalisasi perdagangan dan industri dengan Undang-Undang (UU) Penanaman Modal sehingga usaha kecil dan besar tidak mampu bersaing dan terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). "Program efisiensi pengeluaran negara tidak `match` karena ternyata prioritas diberikan pada program renumerasi, pembangunan gedung dan kenaikan gaji pejabat. Sementara pertanggungjawaban hasil audit BPK soal `cost recovery` malah dilempar-lempar begitu saja," katanya. Dikatakannya, soal `cost recovery` seharusnya BPH migas yang bertanggung jawab, tetapi BP migas menyerahkan kepada Departemen ESDM sebagai regulator, dan ESDM malah menyerahkan ke Depkeu untuk menghitung ulang. Ditambahkannya, sikap lepas tangan pemerintah lainnya juga terlihat saat harga-harga kebutuhan pokok diserahkan ke mekanisme pasar sehingga terjadi kenaikan harga yang terus menerus hingga menyebabkan inflasi bahan makanan pada 2007 mencapai 12 persen. Lebih lanjut, dikatakan Henri, beberapa industri strategis seperti tekstil dan produk kayu juga terpaksa memasuki periode "sunset" (meredup) akibat tidak adanya keberpihakan pemerintah pada industri manufaktur yang mengakibatkan deindustrialisasi dan merosotnya daya saing industri. "Masih ada dana pemda sekitar Rp40 triliun yang disimpan di SBI, tetapi tidak ada campur tangan pemerintah untuk menghentikan penumpukan dana ini," tambahnya. Demikian pula dengan rencana pemerintah untuk mengganti "windfall profit" atau keuntungan tiba-tiba karena kenaikan harga minyak dengan surat utang negara, Henri menganggap hal itu juga menjadi contoh pemerintah ingin lepas dari tanggung jawab membiayai pembangunan di daerah. "Lifting (produksi riil) minyak kita dalam beberapa tahun terakhir selalu berada di bawah target sehingga sangat mengganggu APBN. Meski pemerintah selalu mengeluhkan hal ini, tidak ada langkah konkrit yang dilakukan untuk mendorong peningkatan produksi minyak," jelasnya. Sementara itu, anggota TIB lainnya Iman Sugema mengatakan, sembilan langkah kebijakan yang disampaikan Menkeu sebagai antisipasi kenaikan harga minyak dunia pada 2008 hanya berfokus pada fiskal dan tidak menyentuh sektor riil. "Tidak ada yang melindungi masyarakat dari kenaikan harga minyak dunia. Lagi-lagi itu dibebankan kepada masyarakat. Jika pemerintah ingin menjalankan `triple-track strategy` (startegi jalur tiga), yaitu pro-growth (pertumbuhan), pro-poor (masyarakat miskin), dan pro-job (lapangan kerja), maka pemerintah juga harus menjalankan `hands-on policy` (kebijakan campur tangan)," katanya. Peneliti International Center for Applied Finance and Economic (InterCAFE) itu mengatakan pemerintah tidak mungkin melepaskan kewajiban melincungi masyarakt kecil kepada swasta karena mereka akan selalu berorientasi pada peningkatan keuntungan. "Sektor dimana pasar selalu `failed` (gagal) menjadi sektor dimana pemerintah harus campur tangan, seperti sektor yang terkait dengan pengadaan barang untuk kepentingan publik atau `public goods`. Ada ketidakseragaman pada kebijakan pemerintah, dimana pemerintah juga lepas tangan pada sektor publik," katanya. Sedangkan anggota TIB lainnya, Fadhil Hasan lebih menyoroti tidak berpihaknya pemerintah pada sektor pertanian, yang seharusnya menjadi sektor unggulan dengan masih banyaknya penduduk miskin di sektor ini. "Tiadanya strategi pengembangan agro industri menjadikan Indonesia tergantung pada impor produk pangan strategis seperti beras, kedelai, gula dan jagung. Akibatnya saat terjadi kenaikan harga produk pertanian dunia karena banyak negara-negara mengurangi ekspor mereka, para petani tidak menikmati itu dan justru menjadi bencana karena harga produk pertanian dalam negeri ikut naik," katanya. Pemerintah seharusnya meningkatkan insentif pada sektor ini, termasuk meningkatkan infrastruktur di pedesaan yang mendukung proses pemasaran, ungkapnya. Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu juga mengungkapkan program kredit untuk rakyat masih bersifat wacana karena hingga saat ini masih belum ada realisasinya, meskipun telah dicanangkan sejak beberapa tahun lalu. "Jaminan dari pemerintah melalui PT Saran Pengembangan Usaha (SPU) dan Askrindo sebesar Rp1,4 triliun belum juga keluar," katanya menambahkan. (*)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2007